Home Cerpen Bisikan Angin 9 November

Bisikan Angin 9 November

1709
0
SHARE

Oleh: Muh. Fahri Widyantoro

Kota Angin, 9 November 2019.

Lembut desir angin menemaniku yang sedang berpulang ke kampung halaman malam ini. Duduk di teras rumah, merenung, dan mulai mengetik sedikit demi sedikit kerisauan hati. Kampung halamanku ini memang terkenal akan anginnya yang kencang, maka dari itu kampung halamanku ini dijuluki sebagai “Kota Angin”.

Tapi tunggu, angin malam ini nampak berbeda dari biasanya. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Ada aura berbeda yang ia hembuskan kepadaku malam ini. Seolah memohonku untuk dapat mendengarnya sekali ini saja dengan hati yang bersih. Tak berpikir panjang, kudekatkan telingaku kepada alam, kulapangkan hatiku lebar-lebar agar sang angin tak segan untuk berbisik kepadaku. Perlahan, mulai terdengar bisikan angin itu;

“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga”

Sontak, aku kaget. Apa maksud Sang Angin membisikkan ini kepadaku? Bukankah itu adalah kutipan kata dari seorang pahlawan yang pernah berjuang bagi bangsa Indonesia? Dan Sang Angin membisikkan hal itu padaku tepat malam ini, 9 November 2019.

Kuputar pikiranku. Kupaksa otakku untuk menjelajah dan mencari apa maksud dari Sang Angin. Lalu aku teringat satu hal bahwa kutipan itu adalah kutipan yang diucapkan oleh sosok pemuda yang baru berumur 25 tahun tatkala rakyat Surabaya sedang dipaksa untuk tunduk, dipaksa untuk menyerahkan senjata, dan dipaksa untuk mengeluarkan bendera putih terhadap tentara Inggris 74 tahun silam. Kutipan kalimat itu adalah simbol perlawanan terhadap sebuah penindasan, pemuda itu merasa bahwa bumi yang ia pijak, bumi Surabaya, hanya pantas diduduki dan dikuasai oleh rakyat Surabaya sendiri.

Pemuda itu membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak bisa dan tidak akan pernah bisa untuk dibuat menyerah begitu saja. Dan itulah sosok Bung Tomo. Sosok pencetus kutipan kalimat yang menjadi jawaban atas ultimatum pihak Inggris, sekaligus membakar semangat seluruh pejuang, tak hanya di Surabaya, tetapi juga di seluruh Indonesia. Maka selepas itu mengenalah kita akan pertempuran Medan Area, Pertempuran lima hari di Semarang, Serangan Umum 1 Maret, dan lain sebagainya. Pertempuran-pertempuran tersebut adalah salah satu efek domino dari perlawanan rakyat Surabaya yang disulut oleh Bung Tomo.

Oh, ternyata ini maksud dari Sang Angin. Ia berusaha mengingatkan kepadaku bahwa esok adalah 10 November, esok adalah Hari Pahlawan. Tapi, mengapa Sang Angin membisikkan hal ini kepadaku dengan aura kesedihan? Bukankah Hari Pahlawan seharusnya disampaikan dengan penuh semangat suka cita?

Beberapa saat aku terdiam, memikirkan kembali apa maksud dari Sang Angin. Ada-ada saja Sang Angin ini, sukanya main kode, ngalah-ngalahin doi.

Setelah kupikir-pikir, pantaslah Sang Angin membawa kabar ini dengan kesedihan. Mungkin, Ia juga tengah merasa apa yang kurasa saat ini. Betapa sedih melihat rakyat Indonesia hari ini. Bangsa yang dulu dibela mati-matian sekarang sangat mudah terpecah atas berbagai kepentingan. Bangsa yang dulu dibangga-banggakan karena dapat bersatu dalam sebuah perbedaan, saat ini malah hancur karena perbedaan yang pernah dibanggakan.

Mungkin Sang Angin juga sedih, karena saat ini mayoritas pemuda Indonesia termasuk saya tidak bisa dibanggakan layaknya Bung Tomo. Pemuda yang dulu terkenal karena mau bersumpah atas nama Indonesia, sekarang terbuai oleh budaya yang bertentangan dengan Bumi Pertiwi. Yah, mungkin tidak hanya angin yang bersedih, tapi  semua orang yang masih memiliki hati nurani juga akan prihatin melihat kondisi bangsa kita. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang ada di Bumi Brawijaya yang seharusnya menjadi salah satu pilar bagi negara, malah berbalik menjadi racun bagi negara. Dibutakan oleh gengsi, kita lupa untuk apa kita datang.

Hmmm…

Mari merenung, mari berfikir.

Kita adalah tonggak utama bangsa ini, serta di pundak kita menggantung harapan-harapan dari rakyat jelata yang ada di Indonesia. Pernahkah kita berpikir di saat kita sudah menikmati sistem modern, bagaimana nasib mereka yang tinggal di pelosok desa? Apa mereka sudah merasakan fasilitas seperti kita saat ini?

Jauh di pelosok sana, banyak sekali pemuda seusia kita yang harus mengubur dalam-dalam mimpinya demi menghidupi keluarga yang sudah tak punya harta.

“Aku yo butuh urip, gak iso lek uripku tak gae mikir wong liyo tok”

Come on, guys!  Percuma kita dididik jikalau hanya punya pikiran seperti itu. Apa hakikat hidupmu? Apa hanya hidup untuk diri sendiri?

Kita sekolah menggunakan fasilitas negara dan fasilitas itu salah satunya dibangun dari dana pajak yang dibayar oleh masyarakat kecil. Bayangkan betapa hinanya diri kita ini ketika raga yang sudah dicerdaskan dan ditumbuhkan dengan fasilitas umat tidak mau kembali lagi kepada umat.

Dan sialnya, dalam darah kita ini mengalir hak-hak tukang becak yang harus dipenuhi!

Dan sialnya lagi, dalam darah kita ini mengalir peluh buruh tani yang menggantungkan nasib pada kita!

Karena keterbatasan, mereka menaruh kepercayaan kepada kita. Dalam benak mereka berharap bahwa akan ada perubahan dari apa yang mereka usahakan. Kita ingin perubahan, mereka pun juga ingin. Memang berat kawan, berjuang itu melelahkan. Tapi, apa kita punya pilihan lain?

Atas seluruh kemudahan yang telah kita dapatkan hari ini, atas seluruh nikmat yang telah Allah berikan pada kita hari ini, mari kita semaksimal mungkin mensyukurinya.

Mari berjuang bersama, kita ikrarkan dihati kita masing-masing bahwa darah kita adalah darah juang untuk membersamai rakyat. Dan biarlah air mata kita, tetesan keringat kita, dan kepayahan tubuh kita yang kelak menjadi saksi di akhirat bahwa raga ini telah berjuang untuk sebuah perubahan.

Cukupkan hati kita dengan syukur, kokohkan langkah kita dengan ikhlas, dan lembutkan hati kita dengan sabar.

 Terimakasih kepada Sang Angin, yang telah menyadarkanku atas hal ini. Terimakasih dan semoga 10 November berikutnya kami bisa membuatmu berbisik kembali dalam keadaan bahagia penuh sukacita.

Selamat Hari Pahlawan!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here