Home OPINI VIRAL DAHULU, BERTINDAK KEMUDIAN

VIRAL DAHULU, BERTINDAK KEMUDIAN

387
0
SHARE

Publik kembali dikejutkan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat negara. Setelah sebelumnya terjadi kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satrio yang merupakan anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo kepada David Ozora, kali ini penganiayaan dilakukan oleh anak perwira Polri AKBP Achiruddin Hasibuan, yaitu Aditya Hasibuan. Dalam video yang beredar, Aditya tampak melakukan penganiayaan terhadap seorang mahasiswa bernama Ken Admiral, sedangkan AKBP Achiruddin tampak berdiri diam tidak melerai keduanya.

Perbuatan Aditya yang seolah dibiarkan oleh AKBP Achiruddin itu mengundang reaksi negatif dari warganet. Bagaimana tidak, seorang anggota polisi yang seharusnya bertugas menegakkan hukum, ternyata justru membiarkan terjadinya tindak pidana itu terjadi, dalam hal ini tindak pidana penganiayaan. Warganet pun semakin meradang dikala AKBP Achiruddin diduga terlibat gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), setelah ditemukannya gudang solar yang berada tak jauh dari rumah sang perwira polisi.

Ironisnya, penganiayaan yang dilakukan oleh anak Achiruddin ternyata sudah terjadi sejak empat bulan yang lalu, tepatnya pada 22 Desember 2022. Akan tetapi, selama empat bulan itu, penyelidikan kasus mandek alias tidak berjalan, meski keluarga telah melaporkan kasus tersebut ke Polrestabes Medan. Kasus yang menimpa Ken Admiral itu baru kembali berjalan setelah video penganiayaannya viral diperbincangkan di media sosial.

Fenomena dimana suatu kasus tidak ditangani oleh aparat penegak hukum hingga kasusnya menjadi viral di tengah-tengah masyarakat sejatinya bukan pertama kalinya terjadi, bahkan sudah terjadi berkali-kali di tanah air. Pada bulan April tahun 2022, Amaq Shinta, seorang pemuda dari Nusa Tenggara Barat, ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan lantaran melakukan tindakan bela diri melawan begal hingga menewaskan pelaku pembegalan. Penetapan Amaq Shinta sebagai tersangka menimbulkan kontroversi karena yang ia lakukan dinilai bentuk pembelaan diri dalam keadaan terpaksa yang dibenarkan oleh pasal 49 KUHP. Kasus ini pun menjadi ramai dan viral di media, yang mana pada akhirnya berbuntut pada pembebasan Amaq Shinta.

Kemudian pada tahun 2021 silam, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sempat ramai diperbincangkan setelah salah satu pegawainya menceritakan pengalaman perundungan, pelecehan seksual, hingga perbudakan yang dilakukan oleh rekan-rekan kerjanya sejak tahun 2012 yang lalu. Pegawai KPI berinisial MS bercerita bahwa dirinya sudah berkali-kali melaporkan kasus yang ia alami ke kepolisian. Namun, kasusnya tak kunjung ditangani sesuai harapan dan terkesan terhenti. Akhirnya, MS menceritakan kasus pelecehan seksual yang dialaminya ke media sosial Twitter dan menjadi viral. Setelah menjadi viral, KPI beserta kepolisian bertindak mengatasi kasus tersebut. 

Di tahun yang sama, seorang warga melaporkan kejadian pencurian yang dialaminya ke polsek Pulogadung. Alih-alih mendapatkan bantuan, sang korban justru dimarahi dan dicaci oleh salah satu anggota polsek tempatnya melapor lantaran dianggap merepotkan. Bahkan, oknum polisi yang memarahinya juga menyatakan percuma untuk mencari pelaku pencuriannya. Barulah setelah sang korban menceritakan pengalamannya di media sosial dan menjadi viral, kasus pencuriannya diusut. Sedangkan oknum polisi yang memarahinya pun akhirnya dimutasi.

Kasus lainnya yang ditindaklanjuti setelah menjadi viral di antara warganet ialah perilaku tak pantas sejumlah pejabat di berbagai daerah yang melakukan aksi pamer harta atau flexing di media sosial. Pada kasus Rafael Alun Trisambodo misalnya. Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang namanya mencuat setelah anaknya melakukan penganiayaan itu ternyata kerap kali memamerkan harta kekayaannya yang dinilai tak wajar di media sosial. Setelah diselidiki lebih lanjut, RAT diduga melakukan berbagai pelanggaran, termasuk di antaranya ialah tidak melaporkan harta kekayaannya dengan transparan dan gratifikasi. Akibatnya RAT pun ditangkap oleh KPK atas tuduhan gratifikasi.

Selain Rafael Alun, mantan kepala kantor bea cukai Yogyakarta Eko Darmanto juga diperiksa dan dicopot dari jabatannya setelah tindakan pamer harta kekayaannya viral di media sosial. Begitu pula dengan Esha Rahmanshah Abrar, mantan pejabat kementerian sekretariat negara yang dinonaktifkan dari jabatannya setelah pamer harta yang dilakukan oleh istrinya viral dan menjadi perbincangan.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum seolah-olah hanya berjalan ketika kasus diviralkan dan menjadi bahan perbincangan masyarakat. Apabila tidak viral, maka penegakan hukum seakan hanya berjalan di tempat, bahkan tidak jarang dihentikan dengan alasan tidak ada pelaporan atau kurangnya bukti, meskipun kasus yang bersangkutan telah memenuhi segala unsur pelaporan termasuk bukti-bukti. Sehingga tidak heran jika penegakan hukum di Indonesia pada saat ini disebut sebagai no viral, no justice oleh sebagian masyarakat.

Istilah “no viral, no justice” alias “viral dahulu, bertindak kemudian”, tidak dapat dipandang sebagai fenomena yang remeh. Penegakan hukum semacam ini menjadi satu dari sekian indikator yang menunjukkan kurang optimalnya kinerja aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Aparat penegak hukum yang telah diamanatkan kewenangan untuk menindak pelanggaran hukum, ternyata tidak menjalankan wewenangnya dengan baik dan justru menganggapnya sebagai hal yang remeh. 

Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap instansi kepolisian dan juga aparat penegak hukum lainnya dapat menurun. Aparat penegak hukum dianggap tidak profesional dan tidak mampu memberikan esensi dari penegakan hukum itu sendiri, yaitu tercapainya keadilan. Ketidakpercayaan ini salah satunya dapat dilihat dari naiknya penggunaan tagar #PercumaLaporPolisi setiap kali terjadi  fenomena yang demikian.

Jika terus dibiarkan, ketidakpercayaan masyarakat perlahan membentuk keadaan anomi. Masyarakat yang tidak lagi percaya pada penegak hukum akan melakukan penegakan hukumnya sendiri melalui peradilan jalanan atau vigilantisme. Dalam praktiknya, vigilantisme sering kali berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia terduga pelaku, bahkan tidak jarang menghukum seseorang yang tidak bersalah.

Oleh karenanya, aparat penegak hukum, khususnya kepolisian harus segera berbenah. Laporan atau aduan yang dilakukan oleh masyarakat harus ditangani secara cekatan tanpa perlu menunggu dahulu kasus tersebut viral di media sosial demi terwujudnya penegakan hukum yang memenuhi kepastian dan keadilan. Lagi pula, bukankah slogan polisi saat ini ialah “Polisi Presisi”? Bagaimana mungkin polisi dapat dikatakan presisi apabila tidak mampu menangani perkara yang menjadi kewenangannya secara cepat dan tepat? 

Untuk itu, mekanisme pengawasan internal di dalam aparat penegak hukum perlu diperketat sehingga kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dijaga dengan baik. Melalui mekanisme pengawasan internal yang ketat, aparat penegak hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan seenaknya sendiri, melainkan bekerja menangani laporan-laporan masyarakat sesuai dengan protokol yang ada. Jika memang diperlukan, “pembersihan” aparat penegak hukum dari anggota-anggota yang tidak kompeten juga dapat dilakukan sebagai bentuk komitmen reformasi penegakan hukum. 

Lebih lanjut, masyarakat atau akar rumput juga perlu diberikan pemahaman mengenai penegakan hukum yang baik sehingga tidak mudah untuk diperdaya oleh oknum-oknum aparat penegak hukum. Jangan sampai masyarakat menerima begitu saja ketidakjelasan penanganan kasus hingga kasus itu dihentikan, dimana hal itu tentunya akan merampas keadilan yang seharusnya mereka dapatkan.

Oleh: Raynaldy A. Mahendra

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here