Home Berita Pemberian Hak Guna Usaha Selama 190 Tahun, Guru Besar Hukum Agraria FH...

Pemberian Hak Guna Usaha Selama 190 Tahun, Guru Besar Hukum Agraria FH UB Kritik Perubahan UU IKN

92
0
SHARE
Prof. Imam Koeswahyono, Pakar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Malang, ManifesT –Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara menjadi Undang-Undang pada 3 Oktober 2023. Pengesahan tersebut merupakan realisasi rencana pemerintah untuk memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) yang ada di Pulau Kalimantan. Rencana pemindahan ibu kota negara yang diatur dalam perubahan UU IKN banyak menuai pro dan kontra, salah satu persoalan yang timbul dari perubahan UU IKN tersebut mengenai Hak Guna Usaha (HGU) di tanah IKN yang dapat diberikan hak selama 190 tahun.

Dalam Pasal 16A UU IKN yang merupakan ketentuan tambahan mengatur tentang HGU di tanah IKN yang dapat diberikan secara 2 tahap, yakni pada tahap pertama diberikan selama 95 tahun dan pada tahap kedua dapat diberikan kembali selama 95 tahun. Sehingga pemberian HGU di tanah IKN dapat diberikan hingga paling lama 190 tahun. Pemberian HGU selama 190 tahun yang hampir mencapai 2 abad dianggap melanggar konstitusi dan pemerintah terkesan melakukan ‘obral tanah’ demi menarik para investor untuk menanamkan modalnya di tanah IKN.

Persoalan tersebut mendapat perhatian dari Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Prof. Dr. Imam Koeswahyono, S.H., M.Hum., yang menilai pemberian HGU di tanah IKN yang mencapai 190 tahun jelas bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang dianut dalam Pasal  33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945. Selain itu menurutnya pemberian HGU di tanah IKN tersebut juga bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang secara jelas mengatur pemberian HGU paling lama 60 tahun. Padahal menurut Prof. Imam UUPA merupakan undang-undang induk yang mengatur tentang pemberian hak di lingkup pertanahan dan harus dipatuhi.

“Dasar dari UU No. 3 Tahun 2022 itu adalah UU Ciptaker yaitu (yang telah direvisi dalam) UU No. 6 Tahun 2023 (yang) secara konstitusional UU Nomor 6 (tahun 2023) tersebut bertentangan terutama Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sebagai dasar konstitusionalitas hak atas tanah,” ujar Prof. Imam kepada ManifesT.

Prof. Imam juga menyinggung mengenai praktek penerapan HGU hingga 190 tahun dengan mengutip pendapat Prof. Maria S.W. Sumarjono dalam tulisan Kompas (16/10/2023) bahwa Kementerian Agraria dan dan Tata Ruang itu lemah dalam pengawasan setelah memberikan HGU. Prof. Imam sepakat dengan pendapat Prof. Maria, karena menurutnya pengawasan yang lemah dalam pemberian HGU maka akan muncul resiko penyalahgunaan atau penyimpangan hak atas tanah yang telah diberikan negara kepada para investor.

Prof. Imam menilai pemberian HGU bersifat spesifik terhadap jenis pemanfaatan yang akan dilakukan di atas tanah. Jika terjadi penyimpangan atas izin HGU akan memiliki dampak pada pengelolaan sumber daya alam dan kondisi lingkungan setempat. Selain itu pemberian HGU yang sangat lama tersebut besar kemungkinannya dapat memunculkan sengketa baik secara horizontal maupun vertikal.

“Lamanya jangka waktu (pemberian HGU) akan menimbulkan resiko, resiko yang pertama adalah kurangnya pengawasan pemerintah,” ujarnya.

Prof. Imam menambahkan bahwa pemberian HGU selama 190 tahun akan menyebabkan hilangnya hak-hak masyarakat adat dan hak komunitas yang ada di IKN. Ia juga menjelaskan kaitannya dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa tanah bukanlah daerah kosong karena terdapat 3 jenis hak yang terdapat pada tanah, yaitu: pertama, tanah yang berasal dari hutan negara atau hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Kedua,tanah dan hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang tanah itu termasuk tanah bekas Kesultanan Kutai Kartanegara. Ketiga, di wilayah IKN ada juga tanah-tanah yang dapat dilekatkan dengan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur UUPA.

Menurut Prof. Imam munculnya berbagai persoalan dalam perubahan UU IKN sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap pasal-pasal yang bermasalah dan bertentangan dengan undang-undang lainnya, terutama berkaitan dengan pasal-pasal yang mengatur tentang sumber daya agraria. Ia mengatakan dalam perubahan UU IKN ada konflik norma antara pasal-pasal yang mengatur sumber daya alam sehingga perlu dilakukan penyesuaian dengan yang diamanatkan konstitusi.

Prof. Imam menegaskan supaya pembangunan IKN tidak terkendala maka harus tetap tunduk pada ketentuan pemberian HGU menurut UUPA, karena lamanya waktu pemberian HGU dalam UU IKN tidak ada alasan logis yang bisa diterima.

“Menurut saya tidak ada alasan atau argumentasi logis yang (pemberian HGU) itu menunjang IKN. Tetapi saya seperti yang saya sampaikan pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi II DPR (bahwa) tetap harus tunduk pada pemberian hak sebagaimana diatur dalam UUPA, yaitu pemberian hak yang kalau hak guna usaha itu adalah 35 tahun plus perpanjangannya 25 tahun,” sambungnya.

Prof. Imam juga menambahkan perlu dilakukan peninjauan ulang (review) terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang status kawasan hutan sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurutnya untuk hutan negara hanya bisa dikonversikan dengan hak atas tanah apabila Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup membuat keputusan tertulis tentang pelepasan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan.

Menurutnya UU IKN tidak akan memberikan kemanfaatan dan kesejahteraan, justru menurutnya yang diuntungkan adalah oligarki, sedangkan kelompok masyarakat hukum adat akan tersingkir dari IKN.

“Sepertinya UU IKN itu tidak akan mencapai legal utilities atau pemanfaatan kesejahteraan dari segenap bangsa. Kemudian keadilannya juga tidak tercapai baik keadilan restitutif maupun keadilan korektif, terutama akan terjadi semakin banyak penyingkiran terhadap kelompok-kelompok masyarakat hukum adat dan sebagainya untuk menyingkir tersisih dari IKN,” ungkapnya.

“Bagaimana caranya kita harus selalu mengarusutamakan semangat untuk mendorong semua pemangku kepentingan untuk melakukan dorongan kepada siapapun juga yang berisi melakukan judicial review terhadap UU Nomor 3 Tahun 2022 termasuk perubahannya, karena itu sangat bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undang yang hukumnya tidak tercapai kepastian hukumnya,” ujar Prof. Imam dalam penutupnya.

(njj/isj/wid)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here