Home Cerpen Aspal

Aspal

231
0
SHARE

Oleh Atanasya Melinda M

Suara gemuruh itu hampir saja di sangka Fikar sebagai suara erupsi dari gunung di dekat kampungnya yang beberapa waktu lalu kembali aktif itu. Pertandingan bola yang sedang seru-serunya berlangsung itu seketika berhenti, perhatian semua anak beralih pada sumber suara gemuruh yang sedari tadi terus memekakkan telinga itu.

Beberapa alat berat tampak berjalan beriringan, meninggalkan debu bercampur pasir halus yang berterbangan akibat roda-roda besar mereka yang menggiling jalanan kampung yang tandus itu. Sementara truk dan Alat-alat berat itu berlalu, kedua manik cokelat milik Fikar tak kunjung lepas dari mereka. Ini bukan pertama kalinya alat-alat berat semacam itu tampak di kampungnya, namun sependek pengetahuannya musim pemilu sudah berakhir sejak dua bulan lalu, dan pemilu selanjutnya pun masih lama akan datang kembali.

***

“Ayah, Ayah! Truk truk besar itu datang lagi!” Fikar berseru keras begitu sampai di muka rumahnya, adik laki-lakinya yang sedari tadi juga berlari mengekorinya pun ikut menyahut dari belakang punggungnya. “Iya Yah! Besar sekali, seperti raksasa!” katanya sambil membuka lebar tangannya, berusaha menunjukkan ukuran mobil-mobil yang ia lihat tadi.

Namun respon ayahnya tak seperti yang sudah Fikar bayangkan sebelumnya, lelaki yang sedang duduk membaca koran di teras ternyata tetap acuh tak acuh mendengar kabar yang menurut Fikar seharusnya mengejutkan itu.

“Ayah!” Fikar sekali lagi berusaha mengambil perhatian ayahnya, menggerutu kesal karena tak sedikitpun perhatian diberikan oleh orang tuanya itu kepadanya.

Koran yang sedang asyik ia baca itu, masih tidak diturunkan sedikitpun di antara garis matanya, namun ia akhirnya berkata, “Itu karena satu bulan lagi Presiden mau datang.”

Disebelahnya, sang Adik langsung menyahuti jawaban ayahnya itu dengan penuh semangat. “Pak Presiden yang fotonya ada dinding kelas Ali itu yah?”

“Iya…”

“Pak Presiden yang selalu muncul di dalam TV itu?” Sekali lagi Ali bertanya untuk memastikan, seolah ada presiden lain yang dimiliki negeri ini.

“Iya Dek, pak presiden yang itu.”

Wajah adiknya tampak berbinar penuh kekaguman, asik berandai jika nanti bisa bertemu langsung dengan Bapak Presiden yang selama ini hanya pernah ia lihat wajahnya di layar televisi dan pigura foto di dinding kelasnya. Sementara itu penjelasan singkat yang diberikan ayahnya masih tidak membuat Fikar puas, kerutan dikeningnya malah semakin mendalam, masih berusaha menelaah apa hubungannya kedatangan Pak Presiden dengan segera diaspalnya jalan kampungnya yang sudah bertahun-tahun dibiarkan hanya berlapis tanah pasir yang tandus dan penuh lubang itu.

***

Beberapa anak jalan telah di beri palang, sebuah tanda untuk tidak melintas karena alat-alat berat yang sudah lebih dulu memenuhi jalan kecil itu. Mesin pertama menggaruk batu-batu bercampur pasir dari badan sebuah truk besar, lalu menimbun cekungan-cekungan dalam yang biasanya saat hujan akan secara ajaib berubah menjadi kolam susu cokelat itu. 

Kedatangan mereka telah menjadi hiburan baru bagi anak-anak kampung yang biasanya hanya melihat mesin-mesin besar itu dibalik layar televisi saat propoganda program pembangunan negara sekilas ditayangkan pada sela tayangan televisi favorit mereka.

Sementara Ali, mengikuti anak-anak lain sepantarannya yang dengan setia terus berdiri menonton dipinggir jalan sambil sesekali bergumam kagum. Fikar hanya mencuri-curi lihat pergerakan mesin itu sambil bermain bola di lapangan yang berada di seberang jalan.

Apakah ini berarti ia tidak harus takut lagi kalau-kalau saat musim hujan nanti ia dan sepedanya akan terjembab diantara kubangan air yang lebih cocok disebut sebagai ranjau darat itu?

Suara adzan maghrib yang tiba-tiba berkumandang dari surau kampungnya, tentu saja pertandingan bola yang sudah berlangsung sejak mereka pulang dari sekolah itu langsung bubar tanpa aba-aba lebih lanjut seperti biasanya. 

Namun saat Dirman dan adiknya tiba di rumah mereka, tak seorangpun tampak ada di sana. Ternyata malam itu ayahnya dan seluruh warga kampung lain dipanggil untuk datang ke balai desa.”

Presiden tidak jadi datang kata Pak Kades. Ada kunjungan dari luar negeri yang lebih penting katanya.” 

Begitu penjelasan singkat ayahnya setelah dicecar dengan seribu pertanyaan oleh anak-anak lelakinya yang penuh dengan rasa penasaran. Memberitahu kesimpulan singkat pembahasan mereka di balai desa malam itu.

***

Lalu esoknya, layaknya sulap yang sering dipertontonkan di layar televisi, mobil-mobil itu telah hilang tak berbekas, dan pada hari-hari setelah itupun tak satupun mobil raksasa beroda banyak tampak berkeliaran lagi di kampung mereka.

-Selesai-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here