Home Uncategorized Fenomena KDRT dan Peran Media Massa dalam Mengadvokasi

Fenomena KDRT dan Peran Media Massa dalam Mengadvokasi

519
0
SHARE

Oleh:

Muhammad Farzha Putra (Manifestor 2021)

Muhammad Fauzil Adhim (Manifestor 2021)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tindakan yang tindakan yang menunjukkan adanya gejala abnormal dalam masyarakat yang banyak dinilai bertentangan dengan nilai-nilai dan norma sosial Gejala abnormal tersebut ditunjukan dengan banyaknya fenomena pemukulan, penelantaran, dan pembunuhan pada korban. Kasus KDRT di Indonesia tidak terbatas pada korban perempuan, tetapi juga terjadi pada laki-laki, baik yang sudah dewasa ataupun masih anak-anak. Namun mayoritas korban kasus KDRT adalah perempuan.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada Oktober 2022, terdapat 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia. Menurut data tersebut, 79,5% atau 16.745 korban adalah perempuan dan sisanya 2.948 korban laki-laki.[1] Sejauh ini, fenomena KDRT yang dipublikasi di berbagai media massa (mass media) adalah kasus yang langsung berkaitan dengan hukum atau viral di media sosial, sedangkan kasus-kasus kecil terjamah karena dianggap wajar di dalam dinamika rumah tangga.

Banyaknya kasus KDRT yang terjadi secara masif, media massa sebenarnya memiliki peran yang cukup strategis dalam mengadvokasi isu KDRT. Tetapi dalam kenyataannya pemberitaan KDRT masih mengarah pada penyajian secara tidak proporsional. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki otoritas terhadap dirinya sendiri, sedangkan laki-laki didominasikan dengan penggambaran kesuksesan, kekuatan, dan kedigdayaan.[2]

Dalam banyak pemberitaan media massa, perempuan cenderung ditempatkan sebagai objek yang termarjinalkan, bukan sebagai subjek. Artinya perempuan dijadikan representasi dan bahan eksploitasi dari penceritaan berita sehingga menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Adapun, fokus pemberitaan KDRT yang lebih ditekankan pada intermezzo, sehingga tanpa sadar membentuk suatu paradigma di dalam masyarakat yang cenderung menyepelekan KDRT itu sendiri.

KDRT Sebagai Suatu Fenomena yang Mengakar di Indonesia

KDRT menjelma menjadi fenomena yang mengakar di struktur masyarakat Indonesia. Sebagaimana pemukulan suami terhadap istri, pembakaran asisten rumah tangga oleh majikan, hingga bunuh diri ibu bersama anaknya telah menjadi hal umum terdengar dalam pemberitaan media massa–yang seakan tidak mendapat perhatian yang serius. Fenomena yang mengakar tersebut dapat berimplikasi pada efek domino seperti penularan kekerasan antargenerasi (intergenerational transmission of violence). Hal tersebut dapat terjadi jika seorang anak laki-laki menyaksikan ayahnya memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal itu adalah jalan terbaik untuk memperlakukan perempuan, dan karena itu dia lebih mungkin untuk kemudian menganiaya istrinya sendiri.[3]

            Dewasa ini, realitas tindakan KDRT masih dipandang sebelah mata, bahkan sebagian masyarakat masih belum menerima KDRT sebagai bentuk kejahatan. KDRT sebagai domestic violence dipandang sebagian masyarakat sebagai hal “tabu” internal keluarga yang tidak layak diungkap ke khalayak umum.[4] Hal ini dapat ditengarai dari rendahnya minat untuk melaporkan kasus KDRT yang dialami korban atau diketahui masyarakat. Korban merasa malu untuk mengungkap masalah KDRT di dalam kehidupan rumah tangganya kepada orang lain, sedangkan masyarakat yang mengetahui adanya tindakan KDRT dalam suatu keluarga lebih memilih diam dengan alasan tidak etisnya mengintervensi permasalahan keluarga orang lain. Pemahaman fundamental terkait KDRT sebagai isu privat inilah yang kemudian membatasi luasnya solusi hukum untuk secara aktif mengatasi permasalahan tersebut.

            KDRT sendiri pada perjalanannya mengalami berbagai perkembangan paradigma. Mulanya, KDRT hanya dipandang sebagai suatu fenomena tunggal yang muncul akibat dari suatu perselisihan rumah tangga saja. Namun, muncul kesadaran bahwasannya KDRT sendiri bukanlah sekadar suatu perbuatan tunggal, akan tetapi KDRT merupakan suatu konstruksi dari budaya politik di dalam suatu negara yang cenderung bias gender dan menciptakan suatu kultur patriarkal. Budaya patriarkal sendiri merupakan struktur yang diciptakan dari rangkaian beragam praktik-praktik patriarkal baik dalam ranah filsafat, agama, pendidikan, maupun norma-norma tradisi.[5] Oleh karena itu, fenomena KDRT sendiri dipandang sebagai suatu kenyataan sosial yang timbul dari dinamika di dalam masyarakat itu sendiri. Pengaturan terhadapnya sangatlah diperlukan untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi semua orang, terutama para kaum yang rentan mengalami suatu tindak sewenang-wenang sebagai akibat dari produk budaya suatu masyarakat.

Pengaturan Yuridis Mengenai KDRT

Pada perkembangannya, Indonesia baru pada tahun 1984 meratifikasi Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Dari peratifikasian tersebut, timbul akibat hukum yang wajib dipenuhi oleh Indonesia untuk melaksanakan segala ketentuan di dalam perjanjian internasional tersebut, kecuali terhadap poin-poin yang memang telah direservasi.[6] Implikasi dari akibat hukum peratifikasian konvensi tersebut sendiri adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-Undang tersebut merupakan suatu permulaan baru bagi Indonesia di dalam segala pengaturan serta pencegahan terhadap kekerasan berbasis gender.

Pengaturan hukum mengenai KDRT sendiri menjadi penting di dalam menciptakan suatu kontrol sosial yang bersifat preventif sekaligus represif. Hukum sebagai suatu kontrol sosial yang sifatnya preventif merupakan perwujudan di dalam usaha pencegahan terhadap terjadinya gangguan kepastian dan keadilan, sedangkan sifat represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian hukum dengan masyarakat.[7] Paradigma mengenai hukum sebagai suatu kontrol sosial sendiri timbul untuk menggantikan kaidah lama di masyarakat yang dinilai tidak dapat mengakomodasi lagi fenomena-fenomena yang ada di masyarakat, sehingga muncul urgensi dibentuknya suatu norma baru yang mengatur mengenai segala ketentuan yang sebelumnya belum diatur secara normatif di dalam masyarakat.

Di dalam diskursus mengenai pembentukan Undang-Undang yang mengatur mengenai Penghapusan KDRT sendiri, KDRT juga dipandang sebagai suatu polemik yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang segala ketentuannya belum diatur secara spesifik baik oleh norma sosial maupun norma hukum, sehingga timbul kesadaran akan pentingnya segera dirumuskannya suatu pengaturan mengenai fenomena KDRT itu sendiri. Dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Indonesia memasuki suatu babak baru di dalam penanggulangan KDRT dimana diharapkan setelah diundangkannya UU tersebut, ruang di masyarakat untuk melakukan suatu tindak KDRT dapat ditekan seminimal mungkin.

Media Massa dalam Pengadvokasian Fenomena KDRT

Di dalam segala usaha di dalam menekan ruang terjadinya KDRT, upaya hukum merupakan salah satu pilihan yang dapat dijadikan suatu kaidah yang memaksa masyarakat untuk menaati segala ketentuan di dalamnya, dalam hal ini tentunya ketentuan yang dirujuk adalah ketentuan UU No. 23 Tahun 2004.

Namun sebelum masuk ke dalam hal yang sifatnya prosedural seperti yang telah diatur di dalam hukum itu sendiri, perlu disadari bahwa ada hal-hal substansial yang perlu diakomodasi terlebih dahulu, seperti pendampingan kepada korban, serta bagaimana cara menyadarkan masyarakat terhadap realitas masih kentalnya KDRT itu sendiri di dalam tatanan sosial. Salah satu upaya di dalam mencapai hal-hal substansial tersebut adalah dengan penguatan peran media massa di dalam melakukan kegiatan advokasi media itu sendiri.

Menurut McQuail dalam Mass Communication Theories, salah satu peran media massa sebagai bagian dari civil society adalah sebagai guide atau interpreter.[8] Media massa berperan sebagai penunjuk jalan yang menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian. Dalam hal ini, peran media adalah dengan melakukan advokasi media untuk mengonstruksikan paradigma publik atau sosial dalam isu KDRT.

Eksistensi media massa sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Media massa mampu membentuk opini publik, mengubah perilaku masyarakat, hingga mendesak adanya perubahan kebijakan. Sementara itu, aktivitas diarahkan membentuk perilaku yang baik bagi masyarakat sehingga media diharapkan juga dapat memberi kontribusi melalui pemberitaan.[9]

Pemberitaan di dalam kaitannya dengan kasus KDRT sendiri haruslah menaati kode etik jurnalistik yang ada. Media diharapkan menjadi suatu corong di dalam segala pengentasan terhadap KDRT. Kemampuan media massa di dalam membentuk opini masyarakat seyogianya diarahkan untuk mencapai suatu nilai kebermanfaatan.

Terhadap isu KDRT sendiri, media massa diharapkan mampu membentuk pandangan masyarakat dimana KDRT dianggap sebagai suatu isu yang harus disikapi dengan serius. Upaya pengadvokasian media sangatlah vital di dalam mendesak segala penyelesaian perkara kekerasan berbasis gender. Pada masa sekarang ini, dengan kebebasan dan peran penting yang dimilikinya media massa dapat menjembatani hak masyarakat atas informasi.[10] Selain itu, media massa juga dapat berfungsi sebagai kinerja penegak hukum.

Media massa dapat dianggap sebagai jendela yang memungkinkan masyarakat untuk melihat apa dan bagaimana kondisi di luar sana. Hal tersebut menujukkan bahwa media memiliki kuasa untuk mengontrol perspektif masyarakat, sehingga diperlukan adanya penyempurnaan arah gerak daripada media massa. Penyempurnaan tersebut dapat dilakukan dengan penguatan kode etik jurnalistik serta penekanan terhadap fungsi ideal dari media massa sebagai pilar ke empat demokrasi. sebagai tindak lanjut dari permasalahan KDRT dalam masyarakat Indonesia, maka terdapat rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan pada pemerintah dan media massa. Terhadap pemerintah, adalah dengan melakukan pengawasan secara komprehensif terhadap implementasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Selain itu, pemerintah secara proaktif harus mendukung gagasan dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPTPKKTP) yakni Pengadilan Khusus KDRT yang diharapkan menjadi solusi untuk menjawab kebutuhan akses keadilan bagi korban KDRT.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Assegaff, Djaffar. 1996. Jurnalistik Masa Kini Pengantar Ke Praktek Wartawan. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Hakimi, Mohammad dkk. 2001. Membisu Demi Harmoni “Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia”. Yogyakarta. LPKGM-FK-UGM.

Walby, Sylvia, dkk. 2014. Teorisasi Patriarki. Yogyakarta. Jalasutra.

Jurnal

Haryati. 2012. “Konstruktivisme Bias Gender Dalam Media Massa”. Observasi. Vol. 10. No. 1. Hlm. 41-56.

Modiano, Jovanka Yves. 2021. “Pengaruh Budaya Patriarki dan Kaitannya dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Jurnal Sapientia et Virtus. Vol. 6. No. 2. Hlm.129-140.

Putra, Eka Nugraha. 2016. “Peran Media Massa dalam Penanggulangan Kejahatan”. Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 7. No. 1. Hlm. 1–17.

Ritonga, Elfi Yanti. 2018. “Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi”. Jurnal Simbolika. Vol. 4. No. 1. Hlm. 32-41.

Setiawan, Aria Aditya. 2013. “Peran Media Massa dalam Meningkatkan Kualitas Kepemerintahan Lokal Berbasis Human Security di Kota Jayapura”. Politika: Jurnal Ilmu Politik. Vol. 2. No. 2. Hlm. 21-30.

Widyaastuti, A. Reni. 2007. “Hukum dan Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Jurnal Hukum Pro Justicia. Vol. 25. No. 3. Hlm. 257-269.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Perjanjian Internasional

Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW)

Berita Online/Website

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Persoalan Privat yang jadi Persoalan Publik”. (https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=647:kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-publik&catid=101&Itemid=181) diakses pada 9 November 2022.

Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak. “Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di seluruh Indonesia per Oktober 2022”. (https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan) diakses pada 8 November 2022.


[1] Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, “Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di seluruh Indonesia per Oktober 2022”, https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan, diakses pada 8 November 2022.

[2] Haryati, “Konstruktivisme Bias Gender Dalam Media Massa”, Observasi, 10(1), 2012, hlm. 52.

[3] Mohammad Hakimi dkk, Membisu Demi Harmoni “Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia”, (Yogyakarta: LPKGM-FK-UGM, 2001), hlm. 64.

[4] Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Persoalan Privat yang jadi Persoalan Publik”, https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=647:kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-publik&catid=101&Itemid=181, diakses pada 9 November 2022.

[5] Sylvia Walby, dkk, Teorisasi Patriarki, (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), hlm. 172.

[6] Widyaastuti, A. Reni. “Hukum dan Kekerasan dalam Rumah Tangga”, Jurnal Hukum Pro Justicia, 25 (3), 2007, hlm. 259.

[7] Dewi Iriani, “Hukum Sebagai Alat Kontrol Sosial Dan Sistem Supremasi Penegakan Hukum.” Justicia Islamica, 8 (1), 2011, hlm. 147.

[8] Aria Aditya Setiawan, “Peran Media Massa dalam Meningkatkan Kualitas Kepemerintahan Lokal Berbasis Human Security di Kota Jayapura”, Politika: Jurnal Ilmu Politik, 2(2), 2013, hlm. 22.

[9] Djaffar Assegaff, Jurnalistik Masa Kini Pengantar Ke Praktek Wartawan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 47.

[10] Eka Nugraha Putra, “Peran Media Massa dalam Penanggulangan Kejahatan”, Jurnal Cakrawala Hukum, 7(1), 2016, hlm. 2.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here