Home Cerpen Lingga

Lingga

411
0
SHARE

Oleh: Bintang Sakti Anugrah K

Lingga sedang gundah. Belakangan ini, anak laki-laki itu terlihat murung, tidak riang sebagaimana biasanya. Raut wajahnya lebih banyak dihiasi oleh kemuraman dan rasa kalut. Lingga bahkan sudah tidak pernah lagi menyentuh gitar kesayangannya. Rasanya sudah lama sekali, petikan-petikan pelan dari alunan dawai gitar miliknya tidak terdengar. Benda antik itu kini ia biarkan saja tergantung di kamarnya, tak mau ia sentuh.

Lingga juga sudah tidak pernah terlihat berada di balik layar komputer miliknya. Biasanya, bila sudah berkutat di depan monitor, Lingga akan lenyap, tenggelam dalam dunianya sendiri. Setahun belakangan, Lingga tengah menyusun sebuah naskah novel. Proyek ini menghabiskan sebagian besar waktunya. Anak itu pun sama sekali tidak keberatan. Ia menikmati setiap proses yang dia lalui dalam penyusunan proyek novel miliknya. Saban hari, jemari Lingga lincah menari-nari di atas keyboard, merangkai kata demi kata tentang cerita yang ia garap. Namun kini, tulisan yang susah payah ia buat tidak pernah lagi ia sentuh. Naskah tersebut kini ia biarkan saja bersemayam di dalam komputer, ia seperti tidak ada minat sama sekali untuk melanjutkannya.

Sejatinya, novel tersebut memiliki kerangka cerita yang menarik, berkisah tentang perjuangan seorang anak dengan tarsal tunnel syndrome untuk menjadi seorang pesepakbola. Lingga sesungguhnya adalah anak yang penuh gairah, passionate. Melalui novelnya itu, ia ingin menuangkan sebuah gagasan, bahwasanya segala keterbatasan tidak ada artinya bila di dalam diri kita terdapat tekad yang kuat. Namun, kini justru Lingga yang kehilangan tekad. Api dalam diri anak laki-laki itu redup, bahkan nyaris padam. Semua kegemarannya dulu, mulai dari bermain sepakbola, membaca buku, menulis review film, mendaki gunung, belajar bahasa asing, menjadi volunteer untuk program perlindungan satwa langka, hingga mengajar anak-anak sekolah sudah tidak pernah lagi ia lakukan. Lingga kini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain gim online di ponselnya, sesuatu yang dulu amat ia benci.

Lingga masih gundah, angannya mengawang-awang, mencari-cari letak kesalahan yang membuatnya berakhir begini; kehilangan arah dan gairah. Mata Lingga menerawang, kembali ke tahun terakhir sekolah dulu.

**

“Ling, jadinya gimana? Sudah ada keputusan?” suara Adel memecah fokus Lingga. Anak perempuan itu serta merta duduk di sebelahnya.

Lingga sedikit terkejut, tadinya ia sedang berkonsentrasi merevisi motivation letter yang ia tulis dalam Bahasa Inggris untuk keperluannya melamar sebuah beasiswa perguruan tinggi luar negeri. Lingga sengaja memilih perpustakaan sekolah yang sepi agar konsentrasinya tidak terganggu. Tahu-tahu, kini sahabatnya itu sudah mengambil tempat di sebelahnya. Namun, Lingga tidak keberatan.

“Belum tahu, Del. Aku masih nunggu pengumuman dari Stockholm dulu, baru bisa ambil keputusan,” Lingga menyebut nama Stockholm, sebuah universitas bergengsi di Swedia.

“Makin banyak pilihan semakin bikin kamu susah buat milih, lho. Saranku ambil yang kemarin aja, yang di Inggris. Birmingham, ya? Di sana ada program studi zoology, kan? Bukannya itu impianmu, Ling?” Adel memberondongnya dengan banyak pertanyaan.

“Buat milih satu dari banyak kampus bagus tidak segampang itu dong, Del. Mesti banyak yang harus dipertimbangin. Salah ambil keputusan, bakal berpengaruh sama masa depanku juga, kan,” Lingga menjawab pertanyaan Adel secara filosofis.

“Tapi apapun pilihanmu, aku yakin tidak bakal ada yang salah, Ling. Terlepas dari kampus-kampus yang nerima kamu memang bagus, tapi aku percaya sama kemampuanmu, percaya juga sama keputusanmu,” Adel berkata jujur. Ia yakin akan kemampuan sahabatnya itu.

“Kok kamu bisa gitu sih, Del? Aku saja sering ragu sama diriku sendiri,” Lingga menatap Adel penuh tanya.

“Bisa apa?” Adel bertanya lagi.

“Percaya sama aku,” Jawab Lingga dengan polos.

“Hm.. kenapa yaaa,” Adel berpura-pura berpikir sejenak.

“Mungkin karena kamu dua tahun berturut-turut dapat medali emas olimpiade biologi nasional, mungkin juga karena kamu anak timur pertama yang mewakili Indonesia dalam kompetisi debat Bahasa Inggris internasional, atau mungkin karena karya ilmiahmu tentang ecobrick kemarin sudah terbit dan dijadiin acuan oleh pemerintah buat program ramah lingkungan, barangkali juga karena nilai ujian nasional kamu paling tinggi satu provinsi, atau karena kamu kapten tim sepakbola sekolah kali, ya? Enggak tahu deh karena apa,” Adel menjawab dengan nada sarkastik bercampur kesal. Gemas melihat polah sahabatnya yang cerdas ini.

“Oh iya, satu lagi. Mungkin karena buat dapetin enam beasiswa penuh dari kampus-kampus mahal luar negeri merupakan pencapaian yang mustahil buat anak dari daerah yang bahkan belum punya mall dan ojek online, kayak daerah kita,” Adel masih menambahkan, belum puas menyindir Lingga.

Lingga diam saja, tidak bereaksi. Mendengar jawaban Adel membuatnya salah tingkah. Ia mengutuk dirinya sendiri karena tadi melontarkan pertanyaan bodoh. Sementara Adel tersenyum melhat Lingga kehabisan kata-kata untuk menyangkal deskripsi singkat darinya tentang pencapaian Lingga.

Tak lama, Adel bangkit, dan pamit kepada Lingga. Ia hanya mampir sebentar ke perpustakaan untuk keperluan meminjam buku fisika.

Sepeninggal Adel, Lingga tidak melanjutkan pekerjaannya. Ia mencerna baik-baik perkataan sahabatnya tadi. Perkataan Adel ada benarnya juga, tidak ada alasan bagi Lingga untuk meragukan kemampuannya. Sepanjang petualangannya di SMA, Lingga telah banyak menorehkan prestasi cemerlang. Ia menghabiskan banyak waktu untuk mengeksplorasi bakat dan keterampilan miliknya.

Sepak terjang Lingga selama masa SMA cukup mentereng. Lingga berlatih banyak soft skills untuk meningkatkan komptensi dirinya, belajar lebih banyak dari teman-teman seusianya, dan memaksimalkan setiap waktu dan kesempatan yang ia punya. Hasilnya, kini, di saat anak-anak tahun terakhir SMA sepertinya harus bersusah payah, banting tulang mempersiapkan diri untuk tes masuk perguruan tinggi negeri, Lingga tinggal santai saja memilih perguruan tinggi mana yang ia sukai. Semua itu merupakan buah dari kerja kerasnya selama tiga tahun di SMA. Semuanya terbayar lunas. Lingga merasakan sendiri kebenaran pepatah lama yang menyatakan bahwasanya, apa yang kita tanam, itu pula yang akan kita tuai. Lingga merupakan bukti nyata dari pepatah lama itu.

Akan tetapi, di atas segalanya, tidak ada yang lebih menarik perhatian Lingga melebihi kuliah. Lingga tumbuh besar di daerah pelosok, sehingga memiliki akses yang terbatas terhadap dunia luar. Oleh karena itu, untuk Lingga, kuliah adalah tiket baginya untuk menggenggam semua kesempatan yang ada. Kecintaannya terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan juga menambah rasa penasarannya akan dunia kuliah. Di mata Lingga, kuliah adalah fresh start, awal yang baru. Lingga tertarik akan sensasi atmosfer belajar di bangku perkuliahan yang konon menantang, juga untuk tinggal dan berproses di lingkungan yang asing, serta kesempatan untuk bertemu orang-orang baru dari berbagai latar belakang.

Lingga sudah membulatkan tekad, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk belajar sungguh-sungguh. Lingga tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya dan bertekad untuk memberi sumbangsih terhadap pembangunan di daerahnya lewat ilmu yang dia peroleh dari bangku kuliah. Semua cita-cita dan mimpi Lingga bukanlah isapan jempol belaka. Dalam serangkaian tes yang dia lalui untuk menerima beasiswa dan masuk perguruan tinggi, Lingga menorehkan nilai dan hasil yang brilian. Para pihak penguji tempat Lingga mendaftar menggadang-gadang bahwa kelak, Lingga akan menjadi mahasiswa yang cemerlang.

Semuanya sepertinya akan berjalan dengan sempurna, Lingga bahkan sudah menjatuhkan pilihan, dan tinggal mempersiapkan diri untuk keberangkatan. Lingga bahagia tak terkira, tidak sabar ia untuk segera menyongsong kesempatan yang ia damba-dambakan selama ini. Lingga dapat merasakan perlahan-lahan, satu per satu mimpi dan targetnya akan tercapai. Barangkali, Lingga merupakan calon mahasiswa paling bergairah. Tak sedikitpun ia gentar.

Sampai pada akhirnya, petaka itu datang. Sesuatu yang tidak pernah Lingga bayangkan sebelumnya. Dikala mimpi untuk kuliah itu sudah dalam genggaman, seketika, pandemi hadir. Mimpi buruk yang tak secuilpun pernah terbersit dalam benak Lingga. Mulanya, Lingga tidak terlalu khawatir, ia yakin adanya pandemi tidak akan banyak mempengaruhi kesempatan kuliahnya. Lingga mencoba untuk tidak ambil pusing, dan hanya fokus pada persiapannya sebelum berangkat ke negeri tempat dia akan menempuh studi. Akan tetapi, dugaan Lingga meleset.

Tepat satu bulan setelah kelulusan SMA, dan satu bulan sebelum masa orientasi siswa Lingga di kampus barunya dimulai, pemerintah menyatakan bahwa telah ada varian virus baru yang menjangkiti masyarakat Indonesia, yang dikenal dengan istilah corona virus (Covid-19). Penyebaran virus ini melalui aktivias sosial, seperti kontak fisik, dan interaksi langsung dengan orang yang terjangkit virus. Puncaknya, pemerintah menetapkan status virus ini sebagai wabah pandemi. Langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi penyebaran virus ini adalah dengan membatasi interaksi sosial antar masyarakat, dengan cara mengalihkan aktivitas dan kegiatan sehari-hari, menjadi secara virtual. Imbasnya, mulai dari pekerja kantoran, hingga kegiatan belajar mengajar di lingkungan sekolah dan kampus dialihkan melalui media daring.

Sejatinya, langkah yang diambil pemerintah untuk menekan angka penyebaran virus sudah tepat, akan tetapi, langkah inilah yang mengubur impian Lingga dalam-dalam. Memupuskan semua angan dan asa Lingga. Adanya virus ini mengakibatkan seluruh kegiatan perkuliahan dialihkan menjadi daring. Celakanya, virus ini tidak hanya melanda Indonesia, tetapi hampir seluruh negara di dunia, termasuk negeri tempat Lingga menerima beasiswa penuh, dan akan melangsungkan perkuliahan. Akibatnya, untuk sementara waktu, Lingga dan teman-temannya tidak jadi diberangkatkan dan diharuskan untuk mengikuti perkuliahan secara daring.

Mengetahui akan hal itu, musnah sudah harapan Lingga. Semua daya dan upaya Lingga untuk bisa sampai dan berada di titik ini harus sirna dalam sekejap mata karena hadirnya pandemi. Bukan, bukan karena Lingga tidak sanggup untuk mengikuti perkuliahan secara daring, melainkan, Lingga, yang notabene merupakan anak pelosok daerah dari bagian timur Indonesia, tidak memiliki kesempatan untuk berkuliah secara daring karena keterbatasan fasilitas.

Jangankan untuk menyediakan fasilitas internet yang layak, di daerah asal Lingga, internet saja merupakan barang mewah. Sadar akan kondisi yang tidak memungkinkan membuat Lingga semakin terpuruk. Ia kecewa, marah, kesal, dan hancur. Dengan berat hati, serta karena pilihan yang tidak banyak, Lingga mau tidak mau harus merelakan beasiswa yang susah payah ia peroleh, buah dari kerja kerasnya belajar tak kenal waktu siang dan malam, tiketnya untuk meraih banyak kesempatan.

Menerima kenyataan pahit untuk tidak jadi berkuliah di kampus kelas dunia di sebuah negara maju, membuat Lingga menjadi sosok yang berbeda. Gairahnya hilang. Semangat belajarnya menurun drastis. Lingga tidak mau lagi mengunjungi perpustakaan daerah, seperti yang selama ini rutin ia lakukan. Setiap kali membayangkan dunia perkuliahan, dada Lingga terasa sesak. Pandemi yang tak kunjung reda juga memperparah keadaan. Dalam kondisi seperti ini, Lingga ingin sekali berkeluh kesah kepada Adel dan teman-teman baiknya, namun keberadaan pandemi menghalangi hal itu.

Lingga dilanda kekecewaan yang berat. Pikirannya meronta-ronta ingin segera meninggalkan daerahnya, untuk meraup ilmu sebanyak mungkin di negeri orang. Namun apa daya, Lingga tidak memiliki kuasa apa pun untuk menghentikan pandemi ini. Lingga, seperti juga jutaan anak lain seantero negeri, adalah korban dari kekejaman realitas. Sukar dipercaya memang, bagaimana sebuah mikroorganisme virus, yang bahkan tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, dapat mengubah roda sosial tatanan kehidupan masyarakat secara besar-besaran, serta mengubah masa depan seorang anak muda berbakat besar.

Pada akhirnya, Lingga, sang anak pelosok dengan mimpi besar, si jenius peraih medali emas olimpiade nasional, calon akademisi dengan semangat belajar tinggi, anak muda aset bangsa dengan bakat hebat, harus bertekuk lutut, menyerah, takluk dengan keadaan. Pada akhirnya, Lingga kalah.

Lingga mengaku kalah, tetapi untuk sementara.

***

Sudah dua tahun berlalu sejak Lingga mengajukan surat pengunduran diri dari universitas ternama di negeri barat sana. Dalam rentang waktu dua tahun itu, pandemi belum juga surut. Pemerintah berhasil menemukan beberapa inovasi agar masyarakat tidak melulu berdiam di rumah. Tetapi untuk aktivitas sekolah dan perkuliahan, sebagian besar masih dilaksanakan secara daring.

Dalam waktu dua tahun itu juga, Lingga mencoba untuk menerima. Pada caturwulan pertama, terasa cukup berat bagi Lingga untuk menerima kenyataan bahwa mimpinya harus kandas karena pandemi. Namun perlahan-lahan, Lingga bisa mengikhlaskan. Lingga mulai kembali membaca buku, kebiasaan yang sudah cukup lama tidak ia lakukan. Lingga melanjutkan draft novelnya yang terbengkalai, dan mengunjungi perpustakaan daerah yang sudah lama tidak ia datangi. Lingga menemukan kembali dirinya.

Pada akhirnya, Lingga tetap berkuliah. Lingga kuliah di sebuah kampus swasta sederhana di daerah asalnya, yang tidak menyelenggarakan kuliah secara daring. Selama perkuliahan, Lingga tetap belajar bersungguh-sungguh, kendati bahan ajar yang diberikan selama proses pembelajaran semuanya sudah dikuasai oleh Lingga yang cemerlang. Lingga tidak pernah keberatan, kendati kualitas pendidikan yang ia terima jauh di bawah standar yang layak ia terima sebagai siswa berprestasi. Lingga tetap berdedikasi tinggi untuk ilmu pengetahuan.

Selama dua tahun itu juga, Lingga bangkit. Ia memulihkan kembali semangatnya, memupuk harapan, dan menata ulang rencananya dari awal. Ia tidak mau menjadikan pandemi sebagai alasan untuk tidak maju. Sebagai anak laki-laki, Lingga tidak sudi untuk takluk pada pandemi. Lingga menyongsong hari demi hari dengan optimisme tinggi, menanti kesempatan selanjutnya datang lagi.

***

“Jadi bagaimana, Ling? Seru nggak di sana?” suara Adel terdengar nyaring dari speaker ponsel milik Lingga.

“Aku kayaknya masih harus menyesuaikan diri sama cuacanya, deh. Dingin banget. Tapi makanannya enak, kok. Jadi semuanya aman,” Lingga menyahut sambil tersenyum.

“Del, coba lihat ini deh,” Lingga berkata lagi, kali ini sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah depan.

“Itu Pohon Hawthorn yang dulu sering kita lihat di sampul buku biologi pas SMA,” Sambung Lingga.

“Serius? Jauh lebih bagus dari yang di foto ya,” Jawab Adel

“Iya, di taman kampusku Pohon Hawthorn ada banyak,” lanjut Lingga lagi.

Keduanya melanjutkan percakapan. Lingga sedang memberikan tur singkat kepada Adel seputar kampusnya yang baru melalui video conference di ponsel. Adel tampak antusias menyimak, ia senang menyaksikan sahabatnya itu berhasil mewujudkan impiannya sejak dulu: melanjutkan studi di negeri orang. Adel menyaksikan sendiri bagaimana hancurnya hati Lingga ketika wabah pandemi Covid-19 datang, menghancurkan kesempatan Lingga untuk bersekolah.

Namun, lihatlah, kini Lingga berhasil bangkit dari keterpurukan, dan dengan gagah berani mengejar kembali cita-cita lamanya. Ekspresi wajah Lingga laksana seorang pemenang. Meski sempat takluk di awal, Lingga memilih bangkit, tidak mau tunduk. Lingga memang sempat terluka, tetapi kesedihannya tidak ia biarkan berlarut-larut. Justru malah dijadikannya kekecewaan itu sebagai bahan bakar untuk memompa semangatnya kembali.

Dua tahun setelah mengundurkan diri dari beasiswa universitas yang ia terima semasa SMA, ketika pandemi sudah reda, Lingga memutuskan untuk mencoba lagi, menebus hutangnya di masa lalu, dengan mendaftar sebuah beasiswa penuh untuk melanjutkan studi di sebuah universitas hebat di Inggris.

Seperti percobaan yang sebelumnya, Lingga belajar mati-matian, mencurahkan segenap upayanya untuk meraih beasiswa ini. Tidak lupa ia berikhtiar dan meminta restu kedua orang tua. Setelah serangkaian proses panjang, akhirnya, Lingga berhasil, untuk kedua kalinya. Merebut kembali tiket yang dulu dirampas dengan keji oleh pandemi. Mengembalikan mimpinya yang telah rapat terkubur.

Pada akhirnya, Lingga, sang anak pelosok dengan mimpi besar, si jenius peraih medali emas olimpiade nasional, calon akademisi dengan semangat belajar tinggi, anak muda aset bangsa dengan bakat cerdas alami, berada di tempat semestinya.

Lingga, tidak takluk pada pandemi, Lingga tidak takluk pada apa pun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here