Home Catatan Kritis Mengulas Usulan Penundaan Pemilu 2024 dalam Perspektif Hukum

Mengulas Usulan Penundaan Pemilu 2024 dalam Perspektif Hukum

448
0
SHARE

Oleh :

Isfahani Azmil Aziz (Manifestor 2021)

Rahma Ardana Fara Aviva (Manifestor 2021)

Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024 berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan penyelenggaran pemilu 2024. Kepastian penyelenggaraan pemilu merupakan hal penting karena sebagai bentuk kepastian perwujudan demokrasi sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945. Pemilu 2024 mendatang telah ditetapkan sebagai pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 oleh (KPU) untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota legislatif. Selain itu, pasca pilpres daan pileg rencananya juga akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 27 November 2022.

Ditengah persiapan penyelenggaraan pemilu 2024, secara tiba-tiba publik dikejutkan dengan wacana penundaan pemilu 2024 yang mencuat di ruang publik. Pasalnya, muncul pernyataan mengenai ide penundaan pemilu 2024 oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Ide yang disampaikan Muhaimin Iskandar tersebut kemudian mendapat dukungan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto.

Wacana penundaan pemilu 2024 yang dilontarkan Muhaimin Iskandar berangkat dari alasan perekonomian masyarakat yang dinilai belum pulih akibat pandemi Covid-19. Sementara pergantian pemerintahan umumnya menciptakan ketidakpastian dalam laju pembangunan ekonomi. Oleh karena itu  pelaksanaan Pemilu 2024 harus ditunda sampai pulihnya kondisi keuangan negara. Ia mengatakan jika Pemilu 2024 terus berlanjut, berbagai kontroversi akan dipicu akibat pandemi.[1] Hal ini didukung perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia bahwa negara dapat melakukan penundaan terhadap diberikannya hak-hak masyarakat selama terdapat kondisi spesifik tertentu yang menyebabkan pemberian dan/atau pelaksanaan hak-hak sipil masyarakat harus ditunda[2]

Pemilu sendiri merupakan sebuah kegiatan yang pelaksanaannya sudah jelas dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pesta demokrasi berwujud Pemilu ini tentunya harus dibarengi dengan integritas yang baik agar mewujudkan Pemilu yang berkualitas.

Pemilu sendiri merupakan sebuah kegiatan yang pelaksanaannya sudah jelas dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pesta demokrasi berwujud Pemilu ini tentunya harus dibarengi dengan integritas yang baik agar mewujudkan Pemilu yang berkualitas.

Usulan Penundaan Pemilu 2024 Ditinjau Dari Segi Yuridis Indonesia adalah negara hukum yang demokratis[1] berdasarkan UUD NRI 1945. Sebagaimana tertulis pada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Terkait pemilu, konstitusi telah mengatur secara spesifik pada Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” yang kemudian masa jabatannya diatur dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 7 UUD NRI 1945  yang menentukan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Maka jelas segala bentuk penundaan masa jabatan, perpanjangan masa jabatan, dan penambahan masa jabatan merupakan tindakan inkonstitusional, tidak berdasar, menciderai nilai-nilai demokrasi, dan mencerminkan pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru yang tidak demokratis.

Esensi demokrasi yang terciderai terdapat dalam inkonsistensi pendirian dan pernyataan politis Presiden Joko Widodo terkait perpanjangan masa jabatan. Presiden yang awalnya secara tegas menolak sejak wacana ini muncul pada 2019 namun di kemudian hari, tepatnya pada 5 Maret 2022 Beliau angkat bicara bahwa penundaan pemilu adalah hal yang bebas untuk diwacanakan, namun pada pelaksanaannya harus tetap patuh pada konstitusi. Artinya, pernyataan tersebut mengundang tafsir politis untuk mengamandemen konstitusi. Pernyataan tersebut pada perkembangannya menimbulkan gejolak di masyarakat.

Dr. Johannes Tuba Helan, pakar hukum tata negara Universitas Nusa Cendana berpendapat bahwa Indonesia tidak dalam keadaan darurat untuk menunda pelaksanaan pemilu 2024. Prof. Denny Indrayana berpandangan bahwa Presiden bisa dimakzulkan karena membiarkan wacana penundaan Pemilu 2024 berkembang. Secara yuridis hal tersebut dimungkinkan terjadi sesuai dengan situasi politik parlemen yang bergulir, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 7A UUD 1945, “Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden”. Jika kemudian Presiden tetap kukuh untuk menunda pemilu tanpa tiga cara konstitusional; pertama, amandemen UUD 1945, kedua, menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dapat diterima dalam praktik penyelenggaraan negara, ketiga, mengeluarkan dekrit, maka Presiden dapat dianggap berkhianat terhadap negara dan DPR bisa mengajukan pendapat kepada MK bahwa Presiden telah bersalah dan melakukan tindakan inkonstitusional, untuk kemudian permohonan pemakzulan tersebut diajukan kepada MPR dan diadakan sidang paripurna MPR sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 7B.

Sistem pemerintahan presidensiil dan konsep division of power yang dianut Indonesia memberikan keleluasaan bagi Presiden untuk menjalankan wewenang eksekutifnya. Kekuasaan tersebut tidak dapat dikurangi tanpa ada hal-hal yang bersifat konstitusional begitupun sebaliknya, kekuasaan Presiden tidak dapat ditambah secara semena-mena.[1] Perlu dipahami bahwa ciri khas demokrasi konstitusional ialah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang-wenang.[2] Penundaan pemilu 2024 adalah bentuk penambahan kekuasaan eksekutif secara inkonstitusional. Seharusnya para politikus pengusul penundaan pemilu menyadari bahwa terselenggaranya Pemilu bertujuan agar terciptanya momentum pembaharuan regulasi demi perbaikan perekonomian, situasi sosial, dan politik terutama ketika kondisi pandemi.

Jika meninjau dari adanya asas Salus Populis Suprema Lex yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum paling tinggi, justru hal tersebut menjadi tugas dari pemerintah agar bisa melakukan segala macam upaya yang baik untuk melindungi dan melayani masyarakat.

Rekomendasi

Presiden saat ini telah menjabat selama 2 (dua) periode. Sesuai ketentuan yang termuat dalam Pasal 7 UUD NRI 1945, penambahan masa kekuasaan diluar ketentuan konstitusi adalah hal yang inkonstitusional. Adanya penundaan pemilu 2024 mendatang justru akan membuka peluang banyak permasalahan politik dan permasalahan lain yang mengkhawatirkan. Hal tersebut dikarenakan bisa saja dengan menunda pemilu 2024 bisa memicu demotivasi politik dan mencederai nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai konstitusi.

Mengingat negara Indonesia adalah negara yang tunduk pada hukum dan konstitusi, maka pelaksanaan pemilu dalam waktu yang telah ditentukan adalah sebuah kewajiban yang harus dipatuhi meskipun dalam masa pandemi Covid-19. Protokol kesehatan yang ketat menjadi hal yang wajib dijalankan dalam setiap tahapan proses pemilu. Indonesia pun sebenarnya sudah berpengalaman dalam penyelenggaraan suatu pemilihan saat pandemi Covid-19, yakni pada pilkada 2020 kemaren.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan konstitusi, menjadi suatu kewajiban seluruh pihak agar selalu mengimplementasikan ketentuan dan amanat UUD NRI 1945 dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan usulan penundaan pemilu 2024 di atas, perlu ditekankan lagi bahwa usulan tersebut tidak memiliki urgensitas dan bertentangan dengan pembatasan masa jabatan yang telah ditetapkan konstitusi. Sehingga direkomendasikan kepada seluruh politisi dan para pemangku kepentingan untuk tidak memunculkan wacana-wacana yang berseberangan dengan konstitusi serta semangat penyelenggaraan negara yang demokratis dan konstitusional. Hal tersebut harus diupayakan agar dalam keadaan apapun hak konstitusional warga negara untuk memilih pemimpinnya tidak akan dirampas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Huda, Ni’matul. 2017. Penataan Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Prabandani, Hendra Wahanu. 2015. “Batas Konstitusional Eksekutif Presiden”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 12. No. 3. hlm. 267-276.

Ramadhan, Diastama Anggita. 2021. “Legitimasi Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak 2020 Di Masa Pandemi Covid-19”. Jurnal Supremasi. Vol. 11. No. 2. hlm. 63-80.

Ristyawati, Aprista. 2020. “Efektivitas Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 Pada Masa Pandemi Darurat Covid-19 Di Indonesia”. Jurnal Crepido. Vol. 02. No. 02. hlm. 85-96.

Santoso, Topo, dan Ida Budhiati. 2019. Pemilu di Indonesia Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan. Jakarta Timur: Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Berita Online

CNN Indonesia “Cak Imin Ungkap 3 Alasan Pemilu 2024 Perlu Ditunda”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220223173944-32-763110/cak-imin-ungkap-3-alasan-pemilu-2024-perlu-ditunda, diakses pada 7 Maret 2022.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here