Home Cerpen Keindahan di Balik Penjara Suci

Keindahan di Balik Penjara Suci

89
0
SHARE

Suara itu kembali menggema di telinga seorang gadis berusia 16 tahun, sebut saja namanya  Kaira. Tiap kali membuka pelupuk mata, Kaira selalu terbayang memori tentang hari itu.  Langit masih dalam kesunyiannya, mentari pun masih bersembunyi di balik lika-liku sinarnya,  bahkan belum tampak sedikit pun senyum kicau dari sang merpati. Namun lagi-lagi hal yang  sama selalu terjadi, suara itu semakin membuatnya geram, ingin rasanya Kaira membanting  dunia ini. Terlebih lagi sehelai sajadah kembali tampak di depannya, sepenggal tasbih  bersandar di jemarinya, dan sehelai kain yang melekat di tubuhnya, menjadikan ia layaknya  di dalam penjara suci. Hari demi hari Kaira lewati dengan penuh tekanan dan kesedihan, ia hanya berharap agar semua ini cepat berakhir.  

Waktu salat tahajud dimulai. Hari ini tepat seminggu keberadaan Kaira di pesantren. Menurut Kaira itu adalah waktu yang sangat lama. Hingga saat ini Kaira masih saja tetap tidak suka dan belum nyaman dengan suasana pesantren yang terlalu asing baginya. Setiap hari ia menjalani kehidupan di pesantren dengan rasa sedih dan tertekan. Ia terus menganggap bahwa tempat itu adalah penjara suci  yang sangat menyiksa dirinya, tempat dimana orang tua mereka membuang anaknya. Padahal semua itu orang tua Kaira lakukan hanya untuk kebaikan Kaira, putri kesayangannya itu. Namun Kaira terus berpikiran lain tentang tujuan orang tuanya itu yang sebenarnya sangat baik untuk dia.

Seusai Kaira melakukan shalat sunnah Kaira  pun berdoa kepada Allah Swt tentang apa yang ia rasakan saat itu. Ia meminta bahwa ia ingin keluar dari penjara suci ini. Selepas berdoa Kaira pun melanjutkan kegiatannya dengan setoran hafalan ayat Al-Qur’an. Tak lama kemudian azan subuh pun berkumandang. Pada saat itu Kaira mulai meneteskan air matanya lagi karena merasakan rindu yang sangat dalam kepada keluarganya yang ada di rumah. Mengingat kegiatan yang ia lakukan bersama ayah dan ibunya kala subuh sudah datang yaitu sholat berjamaah, membaca salah satu surah di Al-Qur’an secara bersamaan, lalu dilanjutkan dengan jalan-jalan pagi mengelilingi komplek rumahnya. Tak lama kemudian setelah Kaira menjatuhkan air matanya karena kerinduan atas keluarganya, seorang imam dari salah satu pengurus putri datang untuk mengimami shalat subuh di kalangan santri putri kala itu. 

Setelah usai sholat subuh, hati Kaira pun sudah merasa tenang dan sebagian santri bergegas  untuk setoran hafalan dengan salah satu ustadzah di setiap majelisnya, sedangkan sebagian lainnya mengantri mandi untuk persiapan kegiatan madrasah paginya nanti. Namun saat ini adalah waktunya Kaira setoran hafalan, akan tetapi ia hanya berhasil menghafal satu ayat saja padahal Ustadzah Liya menyuruhnya minimal 5 ayat. Kaira merasa takut dan malu dengan Ustadzah Liya serta teman temannya yang lain karena ia hanya mampu menghafal sedikit dari target yang ditentukan oleh Ustadzah Liya. Ia mencoba berpikir untuk mendapatkan  berbagai cara agar dirinya bisa terbebas dari hafalan ini. 

Tak lama kemudian, Kaira berpura-pura izin ke kamar mandi untuk kabur dari majelis. Perlahan ia berjalan mundur dan akhirnya ia berhasil kabur. Tanpa berfikir panjang Kaira segera menyerobot masuk kamar mandi yang kosong tanpa mengantri terlebih  dahulu. “Dor dor dor…siapa?” tanya seseorang dari balik pintu. Kaira tahu pasti ia adalah pemilik antrian mandi saat ini. Kaira kembali berbohong untuk menyelamatkan dirinya. “Afwan ukhti saya sudah tak tahan untuk buang air besar, soalnya saya diare dari semalam” ucap Kaira. “Ohh yasudah tidak apa apa ukhti.” Sahut wanita di balik pintu kamar mandi.  

Usai membersihkan diri, Kaira bersiap siap untuk pergi ke madrasah. Hari ini ia berangkat  lebih awal karena ia tak mau bertemu dengan Ustadzah Liya kembali di pesantren. Suasana  madrasah masih sangat sepi, hanya diricuhkan dengan suara kicauan burung yang beterbangan. Suasana ini membuat Kaira melamun, ia berfikir tak ada lagi waktu untuknya  mengukir senyum dengan dunia luar, kini hanya selungkup bangunan kecil yang bisa ia tatap  sehari hari. Tak ada lagi secangkir susu di meja, masakan spesial Bik Wati, dan air hangat  untuk membersihkan tubuh di pagi hari. Kini hanya sehelai sajadah yang menjadi alas untuknya  tidur dan bermimpi. Seketika Kaira meneteskan air mata karena teringat dengan keluarganya.

“Kringgg..” tak terasa bel sudah berbunyi. Kaira langsung tersadar dari lamunannya dan  segera mengelap air matanya. Tak terasa kelas sudah terisi penuh dengan para siswi lainnya,  menyadari itu semua ia pun terkejut dan segera menutupi kesedihannya itu. Untung saja Kaira duduk di paling pojok sehingga tak ada yang melihat dirinya menangis. 

Assalamualaikum anak-anak, selamat pagi.” sapa Ustadzah Rina sembari masuk ke dalam  kelas. “Waalaikumsalam ustadzah selamat pagi juga ustadzah.” jawab semua murid serempak.  “Hari ini kita akan kembali belajar akidah akhlak tentang perilaku tercela yakni berbohong.”  Seketika mata Kaira membulat, baru saja ia melakukan hal yang seharusnya tidak ia lakukan.  Ucapan Ustadzah Rina seperti menampar lubuk hatinya. 

Ustadzah Rina menjelaskan secara detail dampak buruk dan mudarat dari berbohong. Kaira  yang mendengar penjelasan dari Ustadzah Rina menangis, ia menyesal telah berbohong bahkan kepada 2 orang sekaligus. Hatinya tergerak untuk meminta maaf kepada mereka namun Kaira takut. Ia terus saja dihantui oleh rasa bersalah. Saat bel istirahat berbunyi, Aini mendatangi Kaira dibangkunya, ia bingung melihat wajah Kaira yang sedari tadi melamun dan cemas. Ia pun berupaya untuk mengajak berbicara Kaira agar ia bercerita akan masalah yang mungkin dihadapi saat itu. 

“Kai, kamu kenapa?” tanya Aini yang langsung membuat Kaira tersadar. “Ehh nggak papa kok.” jawab Kaira berbohong.”Udah lah Kai gak usah bohong, cerita aja.” sahut Aini. Akhirnya Kaira menceritakan semuanya kepada Aini. Ia menuangkan semua keluh kesahnya selama di pesantren. Aini paham betul dengan perasaan Kaira, karena ia juga pernah ada di posisi itu, sehingga Aini memberi saran dan masukan kepada Kaira. Ia juga menceritakan saat dimana Aini bangkit dari keterpurukan itu. Mendengar cerita Aini, Kaira tergerak untuk berhenti bersikap seperti ini. Ia harus mencoba untuk menerima kehidupan di pesantren. 

Sejak saat itu, Kaira menjadi sosok yang baik. Bahkan ia mulai berani berbicara di depan umum. Hal ini mendorong para ustadzah untuk mengirimnya di perlombaan  pidato sampai tingkat nasional. Orang tua Kaira sangat bangga mendengar semua itu, karena melihat perubahan Kaira yang semakin baik dan berprestasi di pesantren. Orang tua Kaira juga bahagia karena pada akhirnya Kaira dapat menyesuaikan diri dengan suasana pesantren. Selain banyak mencetak prestasi, Kaira juga dikenal sebagai sosok yang bijaksana dalam  memimpin sesuatu. Hal ini terlihat saat ia diberi amanah untuk menjadi ketua OSIS pesantren. Kaira semakin disegani teman, ustadzah, bahkan ibu nyai. Namun hal ini tidak mendorong rasa sombong di hati Kaira. Kaira tak pernah merasa hebat. Ia selalu bersyukur dan ingat bahwa semua itu adalah nikmat dan pemberian dari Allah Swt. Kaira juga selalu berpikir bahwa semua yang dimilikinya itu  hanya titipan dari Allah Swt yang harus ia jaga dan pergunakan sebaik-baiknya sebelum Allah  Swt mengambil semua itu dari kita.

Karya: Oca Aulia Putri Nofianti (Manifestor 2023)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here