Home Berita Diskusi Publik — Telaah Kritis RUU TNI Dalam Perspektif Hukum, Politik, dan...

Diskusi Publik — Telaah Kritis RUU TNI Dalam Perspektif Hukum, Politik, dan Keamanan

243
0
SHARE
Dua narasumber dalam Diskusi Publik yaitu Daniel Siagian, S.H. selaku koordinator LBH Pos Malang (kiri) dan Milda Istiqomah S.H., MTCP., Ph.D selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (kanan) (Foto: LPM Manifest FH UB)

Malang, ManifesT — Rabu (31/05/2023), telah terselenggaranya Diskusi Publik yang mengusung tema “Telaah Kritis Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) Dalam Perspektif Politik, Hukum dan Keamanan”. Diskusi Publik yang berlangsung di Auditorium Gedung A, Lantai 6 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Pos Malang bersama dengan Imparsial The Indonesian Human Rights Monitor yang bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Diskusi ini menghadirkan 4 Narasumber yakni Milda Istiqomah S.H, MTCP., Ph.D., DR. Al Araf, S.H, M.D.M., Suciwati Munir, dan Daniel Siagian S.H. Diskusi publik ini bertujuan untuk mengingatkan usai 25 tahun pasca reformasi masih saja terdapat beberapa catatan dan evaluasi, terkait tidak adanya sinkronisasi dari tugas TNI sebagai pelindung dalam mengatasi gangguan keamanan negara, serta memastikan ketertiban masyarakat.

Pemaparan pertama disampaikan oleh Milda Istiqomah S.H., MTCP., Ph.D selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Milda memberikan dari perspektif hukum yakni selain menguatnya rezim otoritarisme dan militerisme di Indonesia, juga dapat dilihat dari pola pembentukan hukum atas dasar kepentingan penguasa.

“Kalau kita melihat dari perspektif hukum selama lima tahun terakhir, itu banyak menunjukkan pola-pola pembentukan hukum yang didasarkan atas kepentingan penguasa. Contohnya ada UU Anti Terorisme yang direvisi di tahun 2018, kemudian ada penetapan KKB Papua sebagai organisasi teroris yang sampai saat ini kita juga belum mendengar ada langkah tindak lanjut dari pemerintah maksudnya dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Penguatnya rezim otoritarianisme ini kemudian menunjukkan ada beberapa indikasi yakni pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ujar Milda.

Alasan dilakukannya dukungan dari TNI kepada pemerintah telah disampaikan oleh pihak mabes bahwa saat ini banyak sekali aparat TNI yang sudah memiliki keahlian dan kemampuan yang lebih dari kemampuan tempur. Jadi  kemampuan untuk melakukan penyidikan, penyelidikan dalam hal kaitannya dengan terorisme, narkotika, cyber, anggota TNI dianggap mumpuni untuk melakukan penegakan hukum.

Namun memang untuk dukungan yang diberikan oleh TNI kepada pemerintah terkait tindak pidana terorisme ini sepertinya kurang tepat karena tidak sesuai dengan kriterianya. “Karena di dalam beberapa kriteria, kita bisa meminta bantuan military forces itu yang belum diatur, dan itu yang tidak dicantumkan dalam RUU TNI itu sendiri. Jadi kita bisa meminta bantuan TNI/military force asalkan skalanya luas, levelnya nasional, ada ancaman dan gangguan keamanan negara dan  melibatkan senjata pemusnah massa” jelas Milda.

Daniel Siagian, S.H. selaku koordinator LBH Pos Malang mengungkapkan acara ini dilakukan untuk melihat dan menganalisis secara objektif bagaimana implikasi ketika dwifungsi diaktifkan kembali. Melalui diskusi publik ini, Daniel berharap dapat menjadi pernyataan sikap bersama dari pihak akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), jaringan masyarakat sipil, dan mahasiswa untuk memberikan standing keberpihakan atau penolakan terhadap revisi UU TNI yang mengaktifkan kembali dwifungsi TNI.

Sementara menurut Suciwati, Penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) Imparsial The Indonesian Human Rights Monitor terdapat beberapa dampak dari sebuah bahaya ketika militer berkuasa, diantaranya adalah cepat kembalinya era dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) . 

“Kerugian 25 Tahun Reformasi yang telah didapatkan yaitu cepat kembalinya era dwifungsi ABRI dari mulai pembungkaman, pengalihan kekuasaan, serta ketika seorang tentara melakukan kejahatan pada masyarakat sipil, seharusnya ditaruh di kantor pengadilan sipil. Tapi malah ditaruh di pengadilan militer,” jelas Suciwati.

Dalam diskusi tersebut Dr. Al Araf, S.H., M.D.M. juga menyatakan bahwa isu ini menjadi penting dan perlu didiskusikan karena adanya beberapa alasan berkaitan dengan pengalaman masa orde baru. UU Nomor 34 Tahun 2004 sebagai salah satu buah dari reformasi, UU ini dibuat oleh pemerintah untuk mendorong proses reformasi TNI. Undang-undang yang diproses dalam satu perdebatan yang panjang dan kritis pada tahun 2004 akhirnya menghasilkan beberapa pencapaian yang menarik. Fungsi TNI tidak lagi hanya sebagai pertahanan utama atau alat pertahanan. Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI tidak lagi boleh berpolitik, TNI tidak boleh berbisnis, TNI harus tunduk pada yurisdiksi peradilan umum jika dalam ranah tindak pidana umum, dan tunduk pada peradilan militer pada lingkup tindak pidana militer. Tetapi menurut Dr. Al Araf, S.H., M.D.M jika RUU TNI ini disahkan dapat memicu kembalinya rezim orde baru. “Konsekuensi nya kalau itu terjadi, demokrasi terancam. RUU TNI membuka kotak pandora, jika itu nantinya disahkan,” tambah Al Araf.

Acara ini mendapat sambutan baik dari para peserta dan tamu undangan, dibuktikan dengan peserta yang hadir juga aktif mengungkapkan pendapat dan bertanya jawab. “Acara seperti ini bisa menjadi pra konsolidasi penguatan pemahaman terhadap bahaya RUU TNI karena selama ini kita hanya fokus pada UU Ciptaker,” ungkap Aryo Bimo dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wisnu Wardhana Malang.

(njj/naz)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here