Home Cerpen Cerita Pendek : Hanya Sebuah Sapa

Cerita Pendek : Hanya Sebuah Sapa

637
0
SHARE


Oleh Atanasya Melinda M.

***

“Bayu?”

Suara familiar itu. Mana mungkin Bayu tidak mengenali suara itu. Suara yang setelah bertahun berlalupun, masih saja terdengar seperti alunan lagu yang merdu di kuping lelaki itu. 

Bayu memalingkan wajahnya ke kanan, dan dugaannya ternyata benar, Ia menemukan perempuan itu di sana.  Lelaki itu tersenyum tipis berusaha menyamarkan keadaan hatinya yang ia pun tau sedang tidak baik-baik saja. “Hai Ran.” Bayu bisa merasakan sebuah getaran pelan terkandung di dalam suaranya, ia harap perempuan itu tidak menyadarinya. 

Rani membalas senyumannya. Dan senyum itu, juga masih senyum yang sama. Bahkan setelah bertahun berlalu pun, senyum itu masih sama. “Kamu apa kabar?” 

Ah pertanyaan ini. Pertanyaan klise yang sudah ratusan kali Bayu dengar selama acara reuni ini. Namun kali ini sesuatu terasa berbeda, dadanya terasa berdesir makin kencang karena Rani lah yang melontarkan pertanyaan itu.

“Baik.” 

Bayu berusaha menghiraukan rasa pahit yang terbersit di hatinya. Tentu saja kabarnya baik. Sepuluh detik yang lalu sebelum pertanyaan itu Rani lontarkan kepadanya, kabarnya masih baik. 

Jangan tanya bagaimana kabarnya sekarang, sebab benteng tinggi yang sudah ia bangun bertahun lamanya sekarang sudah hancur tak bersisa dan semua memori yang tadinya sudah ia singkirkan di luar benteng, sekarang bisa menyusup dengan mudahnya ke dalam hati yang tak lagi punya penjaga. 

***

Hembusan angin malam menyapu lembut puncak kepala lelaki itu, ia tidak mengebut, motornya ia bawa dengan pelan, padahal jalanan sudah sepi dan hanya beberapa kendaraan yang terlihat berlalu lalang. 

Bayu menarik napas dalam, berusaha mengisi paru-parunya dengan angin malam yang dinginnya menusuk itu, ia hanya perlu sebuah penyegaran agar kepalanya terasa sedikit ringan, agar jantungnya tidak lagi berdebar begitu kencang begini.

Beberapa waktu lalu ia mendapatkan perintah dinas ke kota tempatnya dulu merantau untuk berkuliah dan kebetulan waktunya juga bertepatan dengan diadakannya reuni tahunan angkatan fakultasnya yang rutin diadakan.

Sudah dua tahun ia mangkir karena pekerjaan kantor yang tidak bisa ditinggalkan, jadi saat itu ia pikir apa salahnya jika ia datang ke sana untuk bertemu kembali dengan teman-teman lama yang sudah hilang kontak dengannya.

Namun sekarang Ia tak tahu, apakah dirinya menyesali atau mensyukuri keputusannya sebulan lalu untuk hadir dalam reuni angkatan tahun ini. Ia tak tahu. 

Setelah Bayu diingat-ingat lagi, dulu mereka juga sering seperti ini, berboncengan tanpa lokasi tujuan yang jelas di atas motornya, hanya ingin menikmati belaian angin malam sembari menyenandungkan lagu favorit mereka berdua.

Ujung matanya menangkap sebuah gerobak bakso yang sedang mangkal di pinggir jalan, berada persis sekali di sebelah kampus tempatnya dulu menuntut ilmu. Ah warung itu masih ada ternyata, masih ramai seperti biasanya, masih berada di tempat yang sama walau bertahun telah berlalu. 

Dulu Bayu sering sekali makan di sana, hampir setiap minggu setelah rapat himpunannya selesai, bersama teman-temannya, bersama Rani.  Biasanya perempuan itu yang memesankan, Rani sudah kepalang hapal dengan pesanan Bayu yang tidak pernah berubah, semangkuk bakso dengan dua pangsit goreng ekstra dan segelas air putih hangat.

Tiba-tiba perutnya berbunyi, padahal lelaki itu sudah makan saat reuni tadi. Ah, makan semangkuk bakso lagi sepertinya bukan pilihan yang buruk.

***

“Bu, Baksonya satu, ditambah pangsit gorengnya dua ya,” pinta Bayu segera setelah duduk di kursi panjang yang disediakan dekat gerobak bakso itu.

Tiba-tiba gerimis turun, untung sudah ada terpal besar yang menutupi area luar di sekitar gerobak itu, sehingga ia bisa terlindung dari hujan. Ia tidak ingat dulu terpal yang disediakan sebesar ini, seingatnya dulu terpal itu hanya sanggup menutupi si gerobak dan sedikit area disekitarnya saja. Dulu beberapa kali ia harus lari berteduh karena hujan yang tiba-tiba turun dengan deras, saat dirinya sedang menyantap bakso yang ada di mangkuknya.

“Loh Bayu?” Bayu sontak mendongak, itu suara Rani.

“Kamu mau makan bakso juga?”

“Iya.” Ini sudah kali kedua mereka bertemu.

“Bu, baksonya satu, enggak pakai mihun ya.”

Setelah duduk, Rani tampak mengedarkan pandangannya menyusuri warung kecil itu, melihat gemericik hujan yang jatuh melewati tepian terpal, sebuah senyum tipis tercipta di wajahnya saat sebuah ingatan tiba-tiba terlintas dalam benaknya. “Kamu inget gak sih dulu kita pernah kehujanan, pas lagi makan disini?”

“Sering Ran, kita sering banget kehujanan pas lagi makan disini.”

“Dan gak peduli berapa kalipun kita kehujanan, gak pernah ada yang inget untuk bawa payung buat jaga-jaga.” Tanpa sadar gelak tawa kecil tertukar di antara mereka. Ternyata dulu kebodohan bisa semenyenangkan itu.

Ah, berada kembali di tempat ini bersama Rani, membuat ingatan itu kembali terasa segar di pikiran. Baru kemarin rasanya mereka harus berlindung sementara di bawah jaketnya sembari berlari kecil menuju ruko terdekat untuk berteduh bersama. Baru kemarin rasanya mereka menyantap semangkuk bakso hangat yang kuahnya sudah sedikit terkena air hujan itu, sambil menertawakan kebodohan mereka yang selalu saja lupa membawa payung. 

Dua mangkuk bakso yang mereka pesan datang bersamaan, mereka sama-sama menyantap bakso yang ada di mangkuk mereka itu dalam diam, tidak ada lagi percakapan yang tercipta di antara Bayu dan Rani.

Mereka tahu hal itu sebaiknya tidak mereka lakukan, sebab meski hanya memori menyenangkan diundang masuk nyatanya si memori menyakitkan selalu saja menemukan cara untuk ikut menyelusup, dan mereka sama-sama tahu mereka tidak ingin saling menyakiti lagi. Mereka lebih memilih untuk sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

***

Mangkuk bakso Bayu sudah tandas sejak lima menit lalu sedang di mangkuk Rani, masih ada beberapa pentol bakso yang tersisa. Melihat hujan yang perlahan mulai reda, lelaki itu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengangsurkan selembar duapuluh ribu kepada si Ibu yang masih sibuk meracik bakso-bakso lain di atas gerobaknya. 

“Hati-hati, jangan ngebut bawa motornya.”

Langkah Bayu terhenti, namun tak sepatah katapun sanggup keluar dari mulutnya. Maka ia hanya menanggapi ucapan Rani itu dengan anggukan pelan, sebelum akhirnya dengan langkah berat keluar dari warung itu.

Bayu menarik nafas dalam, berusaha melepaskan sesak yang semakin terasa di dada. Bahkan setelah bertahun berlalu pun, jangankan memori yang enggan pergi dan memilih untuk menetap, rasa yang ada di dalam hati Bayu pun nyatanya masih saja tidak mau tersingkir dan masih menggerogotinya dari dalam. 

Selesai-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here