Home Berita Peringati Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan, MCW Menyelenggarakan Diskusi Publik dan Diseminasi Riset

Peringati Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan, MCW Menyelenggarakan Diskusi Publik dan Diseminasi Riset

176
0
SHARE

Malang, ManifestT – Malang Corruption Wacth (MCW) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang dan didukung oleh Aksi Kamisan Malang menyelenggarakan diskusi publik dan diseminasi riset guna memperingati satu tahun tragedi kanjuruhan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu (30/9/2023) bertempat di GKB IV Universitas Muhammadiyah Malang.

Diskusi ini digelar tepat satu tahun pasca terjadinya tragedi kanjuruhan pada 30 September 2022 silam. Hingga saat ini  MCW menilai selama satu tahun tragedi kanjuruhan tersebut masih belum ada kejelasan keadilan yang diperoleh korban dan keluarga korban, sehingga MCW berinisiatif untuk melakukan riset kasus ini yang hasilnya akan dipublikasikan dalam bentuk buku supaya dapat dijangkau masyarakat luas.

Coqi Basil selaku pemapar hasil riset dari Divisi Riset MCW menyampaikan selama proses riset terhadap penyelesaian tragedi kanjuruhan ditemukan hasil bahwa terdapat banyak penyimpangan hukum, khususnya di dalam proses penegakan hukum di pengadilan.

Selain mengulas soal perkembangan kasus tragedi kanjuruhan yang tidak sesuai prosedur hukum, hasil riset MCW juga memperoleh banyak temuan mengenai kondisi korban atau keluarga korban yang mengalami dampak dari segi sosial, ekonomi, psikologis, dan medis.

Sebagaimana yang dipaparkan Basil, dampak sosial tragedi kanjuruhan terjadi pada keluarga korban yang anggota keluarganya meninggal dunia dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan. Dari segi dampak ekonomi korban dan keluarga korban mengalami himpitan ekonomi secara signifikan karena ada yang harus menggantikan peran kepala keluarga atau anak yang meninggal dalam tragedi kanjuruhan tersebut.

Kemudian dari dampak psikologis yakni munculnya rasa traumatik yang mendalam dari pihak korban dan keluarga korban, bahkan menurut Basil juga ditemukan beberapa perubahan tingkat laku yang terjadi pada anak korban. Terakhir dari segi medis, yakni adanya luka-luka fisik seperti luka bakar dan mata perih akibat terkena gas air mata, hingga ada yang mengalami sesak nafas. Atas kondisi itu hasil riset menyebutkan bahwa tidak sedikit korban tragedi kanjuruhan yang melakukan perawatan intensif di rumah sakit akibat luka yang di derita. Menurut penemuan, ironisnya beberapa korban justru tidak mendapat bantuan kesehatan dari pemerintah secara memadai.

Riset ini juga mengklasifikasikan korban yang telah meninggal dunia menurut beberapa kategori, ada dari segi usia, jenis kelamin, dan posisi di keluarga. Dari segi usia korban yang di bawah 18 tahun berjumlah 65 orang, korban berusia antara 19-40 tahun ada 68 orang, dan korban di atas 40 tahun ada 2 orang. Kemudian dari segi jenis kelamin ada 92 orang laki-laki dan 43 orang perempuan. Sedangkan dari segi pembagian peran ada berbagai macam peran, seperti anak yang sedang sekolah, kepala keluarga, ibu rumah tangga, anak perempuan dan laki-laki yang bekerja, hingga balita.

Menurut Basil, korban dan keluarga korban tragedi kanjuruhan mengalami kerentanan yang cukup kompleks, mulai dari segi sosial dan ekonomi.

“Dari beberapa perubahan kondisi keluarga korban (tragedi kanjuruhan) ada kesamaan kondisi yang dialami para keluarga korban, yakni menyebabkan posisi keluarga semakin mengalami kerentanan secara sosial serta kondisi yang menyebabkan mereka semakin sulit menghadapi kehidupan secara sosial maupun ekonomi,” ungkap Basil.

Riset MCW juga mengungkap bahwa ada banyak korban yang menerima bantuan tidak terencana dari pemerintah, misalnya dalam bentuk uang tunai, sembako, biaya pemakaman, pendidikan, alat bantu kerja, keringanan administasi kependudukan, kesehatan, keringanan pajak, dan pembuatan SIM gratis.

Menurut Basil Pemberian bantuan yang diberikan pemerintah dan institusi tersebut kurang efektif untuk membantu meringankan beban korban dan kurang memenuhi unsur keadilan. Hal itu karena keterpenuhan kebutuhan korban akan tercapai jika ada kesesuaian antara bekerjanya sistem penyaluran yang terkoordinasi dengan mempertimbangkan karakteristik kebutuhan individu.

Pasca pemaparan hasil riset dilanjutkan dengan sesi pemaparan oleh penanggap yang disampaikan oleh Ina Irawati dari Koalisi Perempuan Untuk Kepemimpinan, Dermawan Tandeang dari LBH Surabaya Pos Malang, Benni Indo Aliansi Jurnalis Independen Malang, dan Fajar Santosa dari LPBHNU Kota Malang.

Ina menyampaikan bahwa tragedi kanjuruhan akan terus diingat oleh para korban karena menimbukan banyak luka seperti luka fisik hingga trauma. Menurut Ina luka-luka tersebut akan diingat oleh para korban dan menjadi memori yang sangat kelam.

“Para pengunjung yang ada di dalam Stadion Kanjuruhan pada saat tragedi itu berlangsung mengalami berbagai luka, mulai dari luka fisik hingga luka trauma. Luka-luka itu akan menjadi memori yang akan diingat terus oleh para korban,” tutur Ina.

Ina juga mengatakan bahwa yang menjadi tantangan saat ini adalah memulihkan keadaan dan kerugian yang perlu diberikan kepada korban dan keluarga korban. Sehingga perlu ada sinergi dari banyak pihak, mulai dari masyarakat hingga institusi negara terkait seperti LPSK.

Sesi penanggap dilanjutkan oleh Dermawan yang mengungkap bahwa tragedi kanjuruhan mestinya dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat karena terpenuhinya unsur kejahatan yang dilakukan secara sistemik dan mengakibatkan ratusan korban meninggal dan luka-luka, terlebih tragedi tersebut melibatkan institusi kepolisian sebagai bagian dari institusi negara.

“Kami (LBH) menilai bahwa tragedi kanjuruhan tidak hanya termasuk pelanggaran HAM saja, melainkan ini adalah pelanggaran HAM berat. Dengan banyaknya korban yang meninggal dan banyak yang mengalami luka-luka maka besar kemungkinan kejadian ini merupakan pelanggaran HAM berat,” ujar Dermawan.

“Penembakan gas air mata tidak hanya ditembakkan ke arah lapangan saja, tetapi juga ditembakkan ke arah tribun. Ironisnya di tribun itu ada banyak perempuan dan anak, padahal perempuan dan anak itu tidak turun di lapangan. Pertanyaannya mengapa mereka (perempuan dan anak) itu ada yang meninggal? Dari 800 an korban yang meninggal dan luka-luka itu setengahnya dari kalangan perempuan dan anak. Hal itu yang sangat kita sayangkan,” sambungnya.

Benni Indo dari perwakilan jurnalis yang turut mengawal kasus tragedi kanjuruhan pasca tragedi terjadi juga menilai ada keanehan dalam proses penegakannya. Saat itu ia dan teman-teman jurnalis ketika peristiwa tragedi kanjuruhan terjadi banyak mengekspos aspek keadilan dan proses hukum yang sedang terjadi yaitu usut tuntas tragedi kanjuruhan.

“Dari pengamatan jurnalis selang beberapa hari pasca tragedi kanjuruhan ada anggapan mengenai keraguan terhadap proses penegakan hukum kasus ini, dan ternyata benar beberapa bulan setelahnya proses penegakan hukum itu sangat bermasalah dan tidak benar-benar memperjuangkan keadilan korban dan keluarga korban,” ungkap Benni.

Sama halnya dengan Dermawan, Fajar Santoso juga sepakat apabila tragedi kanjuruhan ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Tidak hanya itu, ketika lembaganya LPBHNU yang bekerja sama dengan Persada UB melakukan pemantauan persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya juga menemukan beberapa kejanggalan. Adanya kejanggalan-kejanggalan tersebut dituangkan dalam buku yang sudah dipublikasikan.

“Jadi kita berpikir kita mendorong kasus ini dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Terhadap kejadian ini dari segi ekskalasi korban sudah sangat besar dan mendapat sorotan dunia internasional, tetapi kejadian ini masih sulit ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat,” terang Fajar.

“Kerja-kerja kami di LPBHNU bekerja sama dengan Persada Universitas Brawijaya juga melakukan pemantauan persidangan di Surabaya. Dari pemantauan tersebut kami menemukan bukti-bukti persidangan, diantaranya mengabaikan bukti persidangan, ada bias keterangan saksi karena saksi-saksi didominasi oleh kepolisian, polisi yang menjadi penuntut umum, adanya kepolisian yang sudah ada di dalam ruang persidangan, pemeriksaan saksi dilakukan dengan cara bersamaan,” sambungnya.

Fajar menegaskan bahwa ujungnya negara memang tidak serius menangani tragedi kanjuruhan, justru ia menilai proses persidangan layaknya sandiwara hukum.

(ebs)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here