Home OPINI 19 Tahun Duka dan Politik GAM Pasca Perjanjian Helsinki

19 Tahun Duka dan Politik GAM Pasca Perjanjian Helsinki

114
0
SHARE

Oleh: Nabila Syahrani

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB

“Hudep beusare mate beu sajan”

kematian atau syahid adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan. 

Pada 19 tahun lalu, 26 Desember 2004, penjuru dunia dilanda kabar duka tsunami dan gempa bumi hebat yang terjadi di wilayah Aceh. Saking luar biasanya, porak poranda yang terjadi memakan korban lebih dari 230.000 jiwa. Kejadian tragis ini menjadi titik krusial dalam upaya penyelesaian masalah di Aceh. Selaras dengan kepentingan mendesak dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada para korban tsunami, penyelesaian konflik di Aceh menjadi suatu keharusan yang wajib dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, melalui dialog atau perundingan (negosiasi) pada saat itu.

Kemunculan Era Reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru dan gejala pemerintahan transisi demokrasi mencerminkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang terpusat menuju desentralisasi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1974, pergeseran menuju desentralisasi semakin terasa sesuai dengan harapan dan keinginan seluruh rakyat Indonesia. 

Meskipun demikian, paradigma desentralisasi tersebut ternyata tidak mampu menyelesaikan konflik di Aceh. Kejadian kekerasan bersenjata seringkali terjadi meskipun berbagai upaya perdamaian selalu dilakukan oleh kedua belah pihak. Pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak berhasil mencapai kesepakatan. Upaya untuk menyelesaikan konflik melalui pembentukan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga mendapat penolakan dari pihak GAM.

Dari buku yang ditulis oleh pendiri GAM (Gerakan Aceh Merdeka) “the price of freedom” pada 4 Desember 1976, Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatera. Gerakan yang lahir dari ketimpangan distribusi sumber daya alam Aceh dan perbedaan pandangan dalam hukum islam yang menuntut pemisahan diri dan pendirian negara Aceh. GAM bergerilya di tanah aceh hampir 29 tahun dan memutuskan damai dengan republik Indonesia di tahun 2005.

Tidak dapat dipungkiri salah satu penyebab Aceh memilih berdamai karena duka dari gempa bumi dan tsunami. Di Tahun 2005, kota Helsinki menjadi saksi perdamaian konflik Aceh dan Indonesia, perdamaian ini lebih dikenal dengan “MoU Helsinki”. Setelah 29 tahun yang meninggalkan duka tersendiri untuk bangsa Aceh dan memakan korban hampir 30.000 jiwa karena DOM yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu. Perdamaian ini seperti yang digambarkan oleh pepatah Aceh “Pat Ujeun Nyang Hana Prang, Pat Prang Nyang Hana Reuda” yang artinya “tidak ada hujan yang tak reda dan tidak ada perang yang tak berakhir”.

Di dalam sejarah, Aceh banyak memberikan hadiah untuk Republik, mulai dari pesawat angkut pertama Indonesia hingga perdamaian. Aceh juga pernah menyumbangkan US$ 250.000 untuk Tentara Nasional Indonesia, US$ 50.000 untuk membangun kantor pemerintahan Republik Indonesia, US$ 100.000 untuk keperluan memindahkan pusat pemerintahan Republik Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta dan US$ 100.000 untuk biaya operasional pejabat pemerintah Republik Indonesia atas inisiatif Teungku Daud Beureueh. 

Pasca perdamaian inilah lahir UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang tersebut mencabut UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). UU No. 11 Tahun 2006 dengan jelas menyatakan bahwa Pemerintahan Aceh adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem otonomi yang diterapkan di Aceh sesuai dengan undang-undang ini dianggap sebagai subsistem dalam kerangka pemerintahan nasional. 

Dalam pasal partisipasi politik secara tegas bahwa dalam poin tersebut sangat menonjolkan tentang partai lokal. Dengan adanya legitimasi tersebut, Gerakan Aceh Merdeka bertransformasi menjadi partai politik lokal dengan nama partai Aceh dan pertama kali mengikuti kontestasi pemilu pada tahun 2009 dengan perolehan suara 49,9%. 

Dalam MoU Helsinki, dijelaskan bahwa partai politik lokal diizinkan berpartisipasi dalam Pemilihan Umum di Aceh. Enam partai lokal diakui memiliki hak untuk berkompetisi dalam pemilu 2009. Ini merupakan suatu model politik yang baru dalam sejarah politik republik. Meskipun partai lokal memiliki peluang besar untuk meraih kemenangan, mereka juga diharapkan menunjukkan kinerja terbaik mereka di hadapan publik. 

Hal yang menarik adalah bahwa momentum ini menjadi peringatan penting bagi partai nasional untuk memperbaiki diri, karena pola kekuasaan yang terpusat di Jakarta dan kurangnya representasi kepentingan daerah akan mengalami koreksi. Tanpa memandang setuju atau ketidaksetujuan, partai nasional harus beradaptasi dan memberikan perhatian besar terhadap kepentingan masyarakat di daerah, jika tidak, mereka berisiko tergerus oleh perubahan zaman.

Identitas mengenai transformasi wajah Aceh setelah masa perdamaian tercermin dalam keseluruhan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bersatu di bawah bendera Partai Aceh. Mereka mengungkapkan hasrat politik mereka melalui partai yang timbul sebagai hasil dari periode damai. Tidak lama setelah itu, anggota GAM kemudian memecah diri. 

Beberapa tokoh utama mendirikan partai yang berbeda, yakni Partai Nasional Aceh, yang sekarang dikenal sebagai Partai Nanggroe Aceh (PNA). Suksesnya integrasi eks-kombatan GAM ke dalam masyarakat sipil menandakan keberhasilan transformasi politik mereka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa “proses transformasi politik” bagi mantan anggota GAM telah terselesaikan. Proses ini berhasil mengubah karakter perjuangan GAM dari “gerakan bersenjata” menjadi “gerakan politik dengan basis elektoral”.

Pembentukan Partai Politik Lokal adalah salah satu bentuk kompensasi penting dari terciptanya perdamaian Aceh pasca MoU Helsinki. Dimana pembentukan partai politik lokal adalah bentuk strategi perjuangan baru dalam gerakan untuk melawan ”penindasan pusat” yang menjadi latar belakang pemberontakan di Aceh. Hal yang menarik adalah Partai Aceh berperan sebagai pihak yang menyatukan semua mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan menurut Nurhasim, keberadaan Partai Aceh juga menjadi tolok ukur keberhasilan transformasi politik di Aceh. PNA kemudian muncul sebagai partai politik lokal baru yang didirikan oleh tokoh-tokoh eks GAM dan masih memiliki latar belakang perjuangan yang sama dengan Gerakan Aceh Merdeka, yang terus mempengaruhi dinamika politik di Aceh saat ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here