Home Cerpen Cerpen : Sebuah Kisah Klasik

Cerpen : Sebuah Kisah Klasik

895
0
SHARE

Alif Faizah Putri Elfajri

“Capek banget sekolah, pengen cepet kuliah aja!”

Itu adalah kalimat favoritku dulu, saat masih duduk di bangku sekolah. Kalimat tersebut selalu terlontar ketika aku merasa sangat lelah akan tugas yang dibebankan oleh guru hingga harus begadang untuk menyelesaikannya. Kata orang, SMA adalah masa paling indah selama kita sekolah. Dengan seragam putih abu-abu yang melekat di tubuh, rambut diurai curly mengikuti trend saat itu, sepatu putih dengan coretan spidol hitam bekas razia sepatu, memang masa SMA adalah masa terindah walaupun sebenarnya banyak dosa-dosa yang dilakukan.

Perlu diingat juga bahwa SMA adalah masa dimana kita sebagai remaja melewati masa puber, melakukan perawatan dari ujung rambut hingga telapak kaki, nongkrong kesana kemari, pulang larut malam, mencari perhatian ke teman lawan jenis, dan masih banyak hal-hal lain yang terjadi di SMA. Tentunya akan kurang lengkap jika tidak ada aksi salin glabrak antara adik kelas dengan kakak kelas, bukan? Ya, sekolah negeri sangat kental jika bicara tentang senioritas, tapi memang begitu nyatanya. Seluruh koridor sekolah akan terasa menyeramkan bak sarang harimau jika kamu melewatinya saat masih anak kelas satu. Lapangan basket, kantin, semua spot sekolah seakan membuat labelling bahwa hanya anak kelas tiga yang boleh leluasa menempati.

“Ada kakak kelas nih, yuk pindah.”

Begitulah kira-kira setiap ada senior yang ingin duduk di tempat kami, seakan kami memiliki sinyal otomatis untuk langsung meninggalkan tempat itu. Namun tidak melulu tentang senioritas, banyak kisah dan aksi unik sedikit menggelitik yang terjadi di bangku sekolah menengah atas. Mulai dari bolos saat jam pelajaran, pura-pura sakit saat upacara, tidur serentak saat jam tutor kelas tiga, hingga nekat bolos bersama geng sekolah demi staycation diluar kota. Aku heran, sepertinya tata tertib di SMA memang dibuat untuk dilanggar oleh kami, para murid berprestasi – di bidang bolos. Tetapi, guru BK sudah seharusnya berterimakasih karena setidaknya kami memberi pekerjaan sehingga ada saja kasus yang harus ditangani setiap harinya. Bagi aku dan teman-temanku, mungkin masa SMA adalah masa pemberontakan dimana kita akan melakukan apapun yang kita sukai.

Masih teringat jelas bagaimana saat Grace pertamakali mengajakku untuk bolos dan dengan polosnya aku hanya mengikuti arahannya. Izin ke kantin saat jam pelajaran membosankan, menyuruh teman mengeluarkan tas lewat tralis jendela kelas, mengambilnya lalu kabur ke parkiran, dan langkah terakhir adalah menyelinap keluar lewat lobang pintu pagar bagian bawah. Yap, bebas dan mari pulang! Awalnya sih memang merasa berdosa kepada guru, namun lama kelamaan seperti candu.

Tiga tahun duduk di bangku SMA aku mengamati jelas perbedaan anak IPA dan IPS, keberanianku untuk bolos kelas adalah salah satunya. Hampir sebagian besar anak IPA tidak memiliki keberanian yang sama denganku, paling hanya keluar kelas namun tidak sampai pulang, alias hanya mlipir ke kantin lalu kembali lagi saat jam pelajaran ganti. Aku terkadang iri dengan ketekunan anak IPA, sangat mempertimbangkan masa depan, dan memiliki stigma ‘lebih unggul’ dibanding anak jurusan IPS. Tapi jangan khawatir, walaupun stigma masyarakat buruk untuk anak IPS, tapi untuk jiwa sosial dan empati kita ga perlu diragukan lagi.

Setahun berlalu, tibalah di penghujung waktu dimana kita memiliki 2 junior dan kita akan disibukkan dengan ujian-ujian. Mulai dari tutor, les, jam tambahan semua dilakukan untuk mengejar pelajaran yang selama 2 tahun sebelumnya terlewat karena terlalu fokus akan dosa-dosa bolos yang diperbuat. Namun justru kini seluruh perbuatan masa SMA justru yang paling aku rindukan. Kisah klasik haha hihi ala remaja tongkrongan sangat mewarnai histori kenangan masa remaja. Aku bersyukur pernah diberi kesempatan dan memanfaatkannya dengan baik, entah perbuatan terpujii maupun tercela, walaupun pasti sebagian besar tercela. Tapi jangan pernah menyesali perbuatan perbuatan di masa itu karena mungkin memang saat itu adalah waktu yang tepat dimana kita bisa melakukan aktivitas sesukanya, hanya sedikit manfaat tapi banyak kenangannya. Kini sudah saatnya mengakhiri masa-masa jahiliyah itu dan membuka lembaran baru dengan jiwa yang lebih mapan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here