Home Berita Guru Besar Hukum Agraria FH UB Tekankan Masyarakat Adat di Kawasan IKN...

Guru Besar Hukum Agraria FH UB Tekankan Masyarakat Adat di Kawasan IKN Memiliki Hak Prima Ed Facie

86
0
SHARE

Malang, ManifesT – Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali menuai kontroversi, salah satunya karena kemunculan isu pemindahan tempat tinggal masyarakat lokal yang dilakukan oleh Otorita IKN. Ratusan rumah warga yang berada disekitar IKN meliputi Kelurahan Pemaluan, Desa Bumi Harapan, Desa Bukit Raya, dan Desa Sukaraja di Kabupaten Penajam Paser Utara mendapat surat dari Otorita Ibu Kota Nusantara.

Otorita IKN melalui Surat Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN (OIKN) Nomor 179/DPP/OIKN/III/2024 berisi undangan atas arahan pelanggaran pembangunan tidak berizin dan atau tidak sesuai tata ruang Kota Nusantara. Surat itu juga menyebutkan ratusan rumah masyarakat yang tidak sesuai rencana tata ruang yang diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) akan dibongkar.

Menanggapi isu tersebut, Dosen Agraria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof. Imam Koeswahyono, S.H., M.Hum. menyampaikan bahwa sengketa tanah adat dengan pemerintah dalam keputusan menggunakan wilayah IKN adalah perihal status tanah. Menurutnya, ketidakpastian akan status tanah ini dapat memicu konflik di masa yang akan datang, sehingga penting untuk segera dipastikan.

Penggunaan tanah untuk proyek infrastruktur tanah masyarakat adat harus memenuhi persyaratan dengan pihak atau pemilik tanahnya. Dalam hal ini, Prof. Imam menyinggung keberadaan hak prima ed facie yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lazim disebut dengan UUPA.

“Berdasarkan Pasal 1, 2, 3, dan 5 UUPA bahwa mempunyai hak yang lebih dulu ada atau prima ed facie. Dan kemudian tidak bisa atas dasar surat itu (surat OIKN) pemerintah mengambil secara paksa tanah-tanah ulayat itu dengan alasan tidak ada izin,” singgung Prof. Imam.

Seperti yang telah dijamin di dalam UUPA, Masyarakat adat dalam menempati wilayah mereka memiliki hak bawaan, secara kehidupan masyarakat adat telah ada bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka. Hak originer masyarakat adat tersebut meliputi hak free, prior, and informed consent serta advokasi prima ed facie. 

Hal ini juga ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  yang menyebutkan masyarakat adat adalah subjek hukum mandiri yang berhak menguasai dan mempunyai otoritas terhadap hutan adat, sumber daya alam, dan khususnya tanah hak ulayat adat. Karena itulah klaim pemerintah terhadap penggusuran sebagai proyek dari pembangunan IKN menjadi polemik besar karena selain sebagai hak ulayat masyarakat adat, daerah tersebut juga kawasan hutan adat dan kawasan milik pribadi.

Perubahan Kalimantan menjadi Ibu Kota Nusantara juga akan memunculkan berbagai dampak pada wilayah sekitarnya. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2021, tentu dalam perancangan dan pembangunan Ibu Kota Nusantara harus memikirkan dampak yang dihasilkan seperti kemacetan, banjir, penumpukan sampah, serta kebutuhan sarana dan prasarana fisik. 

“Kawasan itu harus memikirkan tentang bagaimana aksesibilitas untuk masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan IKN itu. Kedua, bagaimana dalam manajemen atau tata kelola persampahan yang akan dihasilkan oleh Ibu Kota Nusantara itu, baik itu kawasan untuk government atau pemerintahan maupun kawasan domestik yang dihuni oleh ASN yang dipindahkan dari DKI ke daerah itu,” terang Prof. Imam.

Lebih lanjut, Prof. Imam juga mengingatkan agar aksesibilitas dari kawasan sekitar menuju dan keluar kawasan IKN tidak hanya diprioritaskan kepada pemodal atau investor, melainkan harus bisa dibangun moda transportasi massal yang dapat diakses oleh masyarakat.

“Jangan sampai, aksesibilitas itu hanya diprioritaskan kepada modal, investor, dan sebagainya, tapi tidak diberikan fasilitas seperti kendaraan umum yang cepat dan murah. Hal kemacetan seperti di DKI sesungguhnya dapat dicegah jika pemerintah sejak dini sudah menerapkan kebiasaan menggunakan moda transportasi massal,” lanjut Prof. Imam.

Demikian pula dengan masalah akses air bersih yang sebelumnya juga terjadi di DKI Jakarta. Menurutnya kasus yang terjadi di DKI Jakarta harus dijadikan sebagai pertimbangan bagi otorita IKN, terlebih karena ketersediaan air bersih yang cukup sulit di Kalimantan karena pulau tersebut didominasi oleh tanah gambut.

“Penting juga perlu diperhatikan, belajar dari kasus DKI adalah tata kelola infrastruktur air, karena setahu saya Kalimantan ini termasuk susah mengakses air bersih seperti halnya di Jawa, mengingat tanah Kalimantan adalah tanah gambut,” terang Prof. Imam.

Karena banyaknya dampak dan isu yang dapat terjadi akibat pembangunan IKN, Prof. Imam Koeswahyono menyampaikan bahwa tidak sepenuhnya setuju dengan pengadaan IKN, terutama apabila proyek tersebut dilakukan di era pemerintahan Joko Widodo. 

“Dari awal saya mengatakan itu tidak sependapat untuk dilakukan saat era Jokowi, mungkin itu bertahap namun tergantung presiden selanjutnya,” tegas Prof. Imam.

Sebelumnya, Prof. Imam juga menyinggung gagasan pemindahan Ibu Kota yang sejatinya telah muncul sejak era Presiden Sukarno. Akan tetapi, gagasan yang kontroversial itu baru benar-benar dikerjakan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo.

“Gagasan proyek IKN itu mengemuka pada era Jokowi periode kedua, dimana IKN itu memang sebuah ide yang revolusioner sekaligus kontroversial, kenapa kok begitu, karena IKN itu sesungguhnya pernah digagas di era Presiden RI yang pertama tetapi tempatnya bukan disitu namun di Palangkaraya, dan itu pun gagal. Dimana pada waktu itu dibantu oleh Rusia, dan jalan itu sudah dibangun kurang lebih sekian kilometer dari dan menuju ke bandara di Kalimantan Tengah.”

Bagaimanapun juga, IKN sebagai salah satu megaproyek pemerintah pusat tidak seharusnya terus melanjutkan konflik kepemilikan tanah dengan masyarakat adat. Masyarakat sebagai pemegang hak prima ed facie harus diperhatikan nasibnya dan menjadi prioritas bagi pemerintah pusat, bukan justru sebaliknya. 

Penulis: Mumtaz, Dhan, Aya, Sehan

Editor: Raynaldy Aulia Mahendra

Pimpinan Redaksi: Marvella Nursyah Putri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here