Home Berita Akademisi Hukum Tata Negara FH UB Kritik Kejanggalan Putusan MK Mengenai Batas...

Akademisi Hukum Tata Negara FH UB Kritik Kejanggalan Putusan MK Mengenai Batas Usia Capres dan Cawapres

103
0
SHARE
Sesi berdialog dengan narasumber Muhammad Dahlan (Foto: Ray)

Malang, ManifesT – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) membacakan Putusan perkara terhadap perkara pengujian Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 (judicial review). Perkara tersebut diputus oleh MK pada Senin, 16 Oktober 2023 lalu. Permohonan judicial review tersebut diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNSA), Almas Tsaqibirru, dengan pokok permohonan yang mengatur batas usia calon presiden dan wakil presiden yang semula diatur 40 (empat puluh) tahun supaya ditambahkan norma berpengalaman sebagai kepala daerah.

Putusan MK tersebut menuai banyak kontroversi dari masyarakat karena dinilai tidak konsisten dalam memutus perkara yang menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Pada beberapa putusan perkara sebelumnya MK menyatakan menolak dan secara konsisten menilai bahwa untuk mengubah ketentuan syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden adalah wewenang DPR dan Presiden, sehingga pengaturan syarat usia minimal  termasuk open legal policy pembentuk undang-undang. 

Tetapi dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 MK memutus berbeda dengan amar putusan mengabulkan sebagian permohonan dan mengubah norma dari yang sebelumnya diatur “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” diubah menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Banyak kalangan masyarakat yang menilai Putusan MK ini memiliki banyak kejanggalan, tidak hanya dari prosedur penyelesaian perkaranya tetapi juga substansi putusan yang bermasalah. Menanggapi Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, Akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, M. Dahlan, S.H., M.H., menilai bahwa ketika merespon putusan MK tersebut harus berangkat melalui pemahaman dasar, yakni setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. 

Dalam UU Pemilu telah ditetapkan bahwa syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden adalah minimal berusia 40 tahun. Ketentuan tersebut bisa diubah apabila Presiden bersama DPR selaku pembentuk undang-undang menyetujui untuk menurunkan atau menambahkan batas minimal usia tersebut. 

Adanya tiga orang hakim yang dissenting opinion dalam putusan tersebut, yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahidudin Adams. Berdasarkan dissenting opinion tersebut M. Dahlan  berpendapat bahwa ketiga hakim tersebut layaknya seseorang yang sedang marah. Saldi Isra juga dalam dissenting opinion-nya mengatakan bahwa selama menjadi hakim MK mulai 2017 hingga sekarang baru kali ini beliau menemukan kejanggalan yang sangat aneh dan  mempertaruhkan martabat MK.

“Ini isi dissenting opinion-nya itu kan semacam curhat gitu-gitu kan, atau kalau bahasa yang lebih sederhana (atau) awam itu semacam marah-marah, tapi marah-marahnya itu adalah kemarahan seseorang yang berilmu dan yang ingin menuangkan rasa hatinya,” terang Dahlan.

Menurut Dahlan ada tiga hal fundamental yang terlanggar dari Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang menurutnya tidak konsisten. Pertama, adanya syarat yang tercantum dalam Pasal 169  huruf a UU Nomor 7 Tahun 2017 yaitu bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Indikator ketakwaan ini adalah keadilan. Setiap orang yang mencari keadilan akan ke pengadilan dan mereka berharap hakim akan memutus seadil-adilnya.

Kedua, menurut Dahlan, integritas seorang hakim dalam hal ini telah dilanggar, karena menurutnya hakim harus menjaga integritasnya yang dilihat dari konsistensi dan dalam berkata dan berperilaku serta menjaga muruah diri sendiri dan pengadilan atas amanat keadilan yang diemban. 

Hakim Anwar Usman menyatakan bahwa tidak masuknya dirinya dalam pengambilan keputusan adalah untuk menjaga conflict of interest karena Gibran sebagai contoh dalam permohonan tersebut merupakan keponakan beliau. Maka seharusnya sejak awal ia sudah menjaga integritasnya karena hakim adalah wakil Tuhan. 

Ketiga, seorang hakim harus imparsial atau berdiri sendiri dan tidak boleh tendensius. Dalam hal ini, sifat imparsial beberapa hakim termasuk Anwar Usman perlu dipertanyakan sebagaimana disampaikan dalam dissenting opinion Saldi Isra. 

“Seorang hakim itu tidak boleh berat sebelah, dia harus berdiri di atas semua kepentingan, yang dia cari, yang berusaha dia temukan itu adalah keadilan bagi setiap orang, kan seperti itu. Nah ini imparsialitas dari beberapa hakim, terutama dari hakim ketua ini juga dipertanyakan,” tegas Dahlan.

Dahlan juga menyetujui dissenting opinion para hakim dapat diterima secara nalar. Ada beberapa hakim yang awalnya menolak kemudian berubah menjadi menerima. Saldi Isra menyatakan bahwa tidak ada urgensi dalam masyarakat yang dapat memicu perubahan sikap para hakim tersebut dengan argumentasi yang jelas. Hal ini yang membuat masyarakat curiga apalagi berkenaan dengan fakta bahwa salah satu hakim konstitusi merupakan paman dari seseorang yang potensial diuntungkan dalam putusan ini.

“Maka kemudian kenapa kok tiba-tiba berubah? Kan kita menjadi curious, kita menjadi curiga, kita menjadi penasaran, apalagi berkenaan dengan fakta bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi dalam hal ini adalah paman dari seseorang yang sangat potensial untuk diuntungkan dengan perubahan semacam ini,” sambungnya.

Menurut Dahlan Mahkamah Konstitusi adalah Guardian of Constitution yang bertugas untuk memastikan UUD NRI 1945 tidak ditafsirkan salah dalam implementasi di tingkat undang-undang. Dengan adanya putusan ini muruah MK perlu dipertanyakan. Menurutnya masyarakat yang mengharapkan MK sebagai jalan terakhir untuk mencari keadilan pun dicederai. Banyak masyarakat yang kecewa atau bahkan muncul ketidakpercayaan lagi kepada MK. Masyarakat perlu prihatin apabila kondisi ini tidak menggugah nurani para hakim, maka negara kita memang sedang berada dalam masalah. 

(mir/ray/jo/wid)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here