Home OPINI QUO VADIS PEMILU DAMAI 2024 DI INDONESIA

QUO VADIS PEMILU DAMAI 2024 DI INDONESIA

105
0
SHARE

Beberapa orang masih sering mempertanyakan “Apakah reformasi 1998 sudah tepat untuk memperbaiki tatanan sistem pemerintahan Indonesia?”, seperti yang disebutkan pada Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat  atau biasa disebut demokrasi yang dikenal secara lebih muda yakni dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Ciri dari negara demokrasi salah satu nya ialah terdapat pemilihan umum karena seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Akan tetapi, ada sebagian orang merasa bahwa negara demokrasi secara inheren mengarah pada struktur kekuasaan hierarkis dan penindasan karena dari pemilihan umum pasti ada yang kalah dan ada yang menang dari hasil penghitungan suara. Mereka kelas yang sedang berkuasa diuntungkan dari tatanan yang berdiri di atas penderitaan kelas yang dikuasai, menjalankan kebijakan-kebijakan yang melindungi oligarki ketimbang kepentingan rakyat. 

Herbert McClosky mengatakan (1972: 252), partisipasi politik sebagai kegiatan sukarela dari warga masyarakat dalam proses memilih penguasa secara langsung maupun tidak langsung, juga dalam proses pembentukan kebijakan umum. Ambiguitas pemilu damai kian menjadi perdebatan antar masyarakat yang memiliki beragam pendapat terhadap proses kampanye yang dilakukan oleh masing-masing capres-cawapres. Ada yang mengatakan terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilihan yang dapat mengganggu integritas dan keadilan pemilu, ada juga narasi pentingnya sikap skeptisisme dalam menavigasi informasi terutama di era digital dan pemilu, dan ada yang mengatakan kritik terhadap salah satu paslon dan pemerintah yang berwenang mengawas dan menjalankan pemilihan umum hanya membuat kegaduhan karena mengganggu masyarakat. 

Kritik atas dominasi dalam pemilu tidak selalu mewakilkan aspirasi rakyat karena dalam negara demokrasi perbedaan pendapat terhadap siapa paslon yang rakyat dukung merupakan tanda bahwa itulah negara demokrasi yang sebenarnya. Namun, masih banyak juga yang belum bisa membedakan antara kritik atau fakta terhadap beberapa berita mengenai salah satu paslon. Tan Malaka dalam buku berjudul Madilog (1951:66) mengatakan bahwasannya dalam mendefinisikan sesuatu hal diperlukan lebih dahulu cari golongannya atau pembagian kelasnya sehingga timbul perbandingan dari tiap-tiap penggolongan tersebut karena definisi itu mesti dimajukan “essential attributes”. 

Namun apalah arti dari pemilu damai yang sebenarnya dipahami oleh masyarakat? Apakah sekedar bekerja sama dari seluruh elemen untuk menciptakan suasana pemilu yang aman dan tertib? Dalam Pasal 2 UU No.7 Tahun 2017 dikatakan bahwa “Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Asas Luber Jurdil ini menjadi acuan dari pelaksaan pemilu damai demi menciptakan suasana yang menjunjung tinggi keamaan dan ketertiban. Akan tetapi, perlu diingat kembali norma dasar dari penyelenggaraan pemilu yang menjadi tolak ukur pemilu damai yang sebenarnya. Pertama, pemilu adalah wadah aktualisasi kewarganegaraan (citizenship), terutama penyelenggaraan hak-hak politik warga negara. Kualitas pemilu diukur dari penghormatan dan perlindungan terhadap kebebasan warga negara dalam menggunakan hak-hak politik. Termasuk tidak adanya intimidasi, diskriminasi, serta untuk memperoleh informasi alternatif. Kedua, seberapa tinggi tingkat kompetisi (competitiveness) kontestasi dimungkinkan. Kualitas pemilu sangat ditentukan oleh sejauh mana persaingan berjalan secara kompetitif, kontestan dapat bersaing secara fair untuk mendapatkan dukungan dari warga pemilih, sekaligus mereka memperoleh informasi setara tentang kontestan. Ketiga, derajat keterwakilan (representativeness) yang dihasilkan oleh proses pemilu. Esensi pemilu adalah metode untuk memilih perwakilan warga yang representatif. Kualitas pemilu diukur oleh tingkat keterwakilan yang dihasilkan oleh sebuah pemilu. Semakin tinggi tingkat keterwakilan politik warga maka pemilu semakin berkualitas. Sebaliknya, derajat keterwakilan yang rendah menunjukkan kegagalan sistem ini.

Pemilu yang berkualitas dan demokratis, menurut Dwipayana (2010), dipengaruhi tiga faktor, yaitu electoral law, electoral process, dan electoral management. Perpaduan tiga pilar tersebut secara resultante menghasilkan electoral outcame. Eletoral law menyangkut pilihan sistem pemilu yang digunakan warga negara dalam memilih para wakilnya. Sistem pemilu memiliki konsekuensi terhadap derajat keterwakilan atas hasil-hasil pemilu, sistem kepartaian (khususnya jumlah partai politik), akuntabilitas pemerintahan, dan kohesi partai-partai politik. Dinamika perseteruan antara representasi politik dan efektivitas pemerintahan tersebut, dapat dilihat dalam undang-undang politik yang digunakan dalam setiap pemilu. Landasan hukum sebagai penataan untuk electoral law, electoral process, dan electoral management, sekaligus kesatuan rangkaian penataan sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian, terus mengalami perubahan seakan tiada ujung. 

“The oppressed are allowed once every few years to decide which particular representatives of the oppressing class shall represent and repress the in parliament”. Sebuah statement yang diberikan oleh Vladimir Lenin dalam State and Revolution (1917) untuk kaum proletar terkhusus kaum tertindas untuk sekiranya bisa memilih calon pemimpin pilihannya untuk keberlangsungan hidupnya. Sejatinya statement “Siapapun presidennya hidup kita juga bakal tetap sama aja” adalah statement paling egois dari kalangan orang orang apatis yang tidak paham seberapa pentingnya melakukan riset untuk menentukan pilihan terhadap calon pemimpinnya di masa mendatang. Sudah seharusnya masyarakat sadar akan buta politik itu sama saja merusak status quonya sebagai warga negara, karena politiklah yang akan menentukan bagaimana pola kehidupan warga negara dalam memenuhi kebutuhannya termasuk kebutuhan primer.

“Those who are really convinced that they have made progress in science would not demand freedom for the new views to continue side by side with the old, but the substitution of the new views for the old” Sebuah statement yang kembali dikatakan oleh Vladimir Lenin dalam ”Dogmatism and “Freedom Criticism” yang mengingatkan pada tong kosong belaka yang mengandung kepalsuan dibawah panji kebebasan industri dan kebebasan buruh. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak yang diatur di Pasal 28 UUD NRI 1945 karena memiliki peran untuk membatasi dan mengingatkan yang sedang menduduki kursi kekuasaan untuk tidak menyimpang. Vladimir Lenin pun juga mengatakan dalam State and Revolution (1917) bahwa demokrasi adalah suatu bentuk negara yang di satu sisi mewakili penggunaan kekuatan yang terorganisir dan sistematis terhadap orang-orang; namun, di sisi lain, hal ini menandakan pengakuan formal atas kesetaraan warga negara, hak yang sama bagi semua orang untuk menentukan struktur, dan mengelola negara. Dalam hal ini, sebagai warga negara yang memiliki hak memilih dalam kontestasi pemilu sudah seharusnya juga saling menghormati atas perbedaan pendapat dan pilihan. Pun juga, rakyat tetap harus mengawal dan mengawasi apa yang dijalankan oleh pemerintah nantinya dan pemerintah juga harus menerima apa yang menjadi kritik dan saran dari masyarakat untuk kebaikan bersama demi Indonesia yang lebih baik. Karena ketika tiap calon yang berkontestasi di ajang pemilu selalu memiliki pendapat gagasan yang sama dengan calon lainnya, maka lebih baik hanya ada calon tunggal dan tidak diperlukan adanya pemilihan umum.

Oleh : Husein Kurnia Hoetomo (Manifestor 2023)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here