Home OPINI Budaya Sub Kultur Geng-Gengan di Sekolah yang Haus akan Popularitas dan Penuh...

Budaya Sub Kultur Geng-Gengan di Sekolah yang Haus akan Popularitas dan Penuh Kekerasan

101
0
SHARE

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di berbagai sekolah, terdapat sebuah subkultur yang sering disebut sebagai ‘geng-gengan’. Subkultur ini terdiri dari sekelompok siswa yang bergabung untuk mengejar popularitas dan kekuasaan di lingkungan sekolah. Mereka seringkali menggunakan sistem recruitment atau seleksi dengan melalui kekerasan, mulai dari meneriakkan nama seseorang, membelikan makanan untuk senior, dipukul dengan benda tumpul, dianiaya dengan disundut rokok hingga dilecehkan. Bentuk-bentuk kekerasan ini  dilakukan untuk mendapatkan anggota baru dan memperkuat kekuatan geng mereka. Tentu saja budaya subkultur ini tidaklah sehat dan memiliki dampak yang sangat negatif bagi lingkungan sekolah. 

Dilansir dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari Januari hingga Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak. Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan. Dengan rincian, anak sebagai korban dari kasus kekerasan seksual sebanyak 487 kasus, korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, korban bullying 87 kasus, korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, korban kebijakan 24 kasus. Sementara data dari Kementerian Pemberdayaan. Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menyebutkan bahwa pada tahun 2023, telah terjadi 2.325 kasus kekerasan fisik terhadap anak.

Subkultur ini dapat menimbulkan tekanan dan pengaruh negatif terhadap individu yang terlibat di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh geng-geng seringkali melibatkan hal-hal yang melanggar norma dan aturan sekolah seperti merokok, minuman keras atau tawuran antar geng. Hal ini dapat menyebabkan siswa yang terlibat dalam geng-geng tersebut memiliki perilaku menyimpang yang berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental mereka.

Salah satu dampak yang paling mencolok dari budaya geng-geng di sekolah adalah munculnya rasa inferioritas pada siswa yang tidak termasuk dalam geng tersebut. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan geng untuk mempertahankan kekuasaan dan keberadaannya dengan cara intimidasi dan kekerasan sehingga siswa yang tidak ingin terlibat dalam geng-geng tersebut seringkali merasa takut untuk melawan atau menentang mereka.

Hal ini dapat terjadi karena adanya perasaan eksklusif dan superioritas yang dibangun oleh geng-geng tersebut terhadap individu yang dianggap berbeda. Banyak siswa yang menjadi korban intimidasi, penindasan dan bahkan kekerasan fisik dari geng-geng ini. Mereka yang tidak memiliki ‘kriteria’ yang diinginkan oleh geng tersebut seringkali diabaikan, dijauhi, dihina bahkan dilecehkan oleh anggota geng yang merasa lebih kuat dan berkuasa yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan harga diri dan kepercayaan diri.

Potret pelaku utama MK dan korbannya FF, dalam video perundungan sesama siswa di Kecamatan Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah pada tanggal 27 September 2023 (Foto: Kompas.com)

Salah satu contohnya, dilansir dari Kompas.com  kita dapat melihat kasus geng-gengan ini di Cilacap, Jawa Tengah.  Terjadi dua kasus sekaligus terkait penganiayaan secara brutal yang menimpa siswa SMP di Cimanggu. Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Cilacap Kombes Fannky Ani Sugiharto mengatakan, perundungan itu terjadi karena MK tak terima korban mengaku-aku sebagai anggota “Barisan Siswa”. Polisi menjerat para pelaku dengan pasal berlapis, yakni Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Pasal 170 KUHP.  Perlu digaris bawahi bahwa kasus ini terangkat dan berada di tangan polisi karena kejadian-kejadian tersebut terekam dalam video, dan kemudian viral di media sosial. Lalu bagaimana dengan nasib korban-korban lainnya diluar sana yang harus menghadapi bullying namun tidak viral sehingga tidak mendapat pertolongan?

Pada akhirnya, tujuan utama dari geng-geng adalah untuk menjadi yang terpopuler di sekolah dan mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebaya. Mereka menganggap popularitas sebagai ukuran keberhasilan dan merasa bahwa kekuatan mereka terletak pada jumlah anggota geng dan pengaruh yang mereka miliki di lingkungan sekolah.

Namun, apa yang sebenarnya mereka dapatkan dari popularitas tersebut? Apakah popularitas yang diperoleh dengan cara memaksa, menindas dan menjauhi siswa lain itu pantas? Tidak ada yang akan menyukai dan menghormati mereka karena mereka terpaksa menjadi anggota geng. Apa yang sebenarnya mereka kuasai? Hanya kekuatan yang bersifat sementara dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang seharusnya diajarkan di sekolah.

Selain itu, sistem seleksi yang digunakan oleh geng juga sangat merugikan bagi lingkungan sekolah. Siswa yang tidak berhasil masuk ke geng tersebut akan merasa rendah diri dan tidak memiliki tempat di sekolah. Hal ini dapat menyebabkan mereka terisolasi dan sulit untuk menemukan teman sebaya. Selain itu, sistem recruitment juga dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar siswa bahkan hingga menimbulkan konflik dan pertengkaran di antara mereka.

Dampak-dampak psikologis yang ditimbulkan oleh budaya geng di sekolah ini seharusnya tidak dianggap remeh dan perlu ditinjau lebih lanjut. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab berkembangnya budaya geng di sekolah, seperti kurangnya pengawasan dari pihak sekolah, tekanan dari lingkungan sekitar atau masalah pribadi yang dialami oleh individu. Namun, sebagai masyarakat yang peduli terhadap pendidikan dan kesejahteraan generasi muda, kita perlu mengambil sikap untuk menghentikan dan mencegah berkembangnya budaya geng yang merusak ini.

Sebagai pendidik, kita harus bertanya pada diri sendiri. Apakah kita ingin menciptakan generasi yang berfokus pada popularitas dan kekuasaan semata? Ataukah kita ingin menciptakan generasi yang mengutamakan nilai-nilai seperti kerjasama, persaudaraan dan penghargaan terhadap keberagaman?

Pihak sekolah dapat memainkan peran penting dalam mengatasi permasalahan ini dengan meningkatkan pengawasan dan memfasilitasi kegiatan positif yang melibatkan seluruh siswa. Selain itu, perlu ada pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya geng-geng di sekolah sehingga dapat dicari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini.

Oleh karena itu, sebagai pelajar sudah sepatutnya kita menciptakan lingkungan sekolah yang ramah dan inklusif bagi semua orang. Kita harus menghormati perbedaan dan tidak memaksa orang lain untuk menjadi seperti kita. Sebagai anggota masyarakat, kita juga harus mendukung upaya pihak sekolah untuk mengatasi masalah budaya subkultur geng-geng dengan cara yang tepat dan efektif.

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk lebih menghargai dan menghormati satu sama lain tanpa harus memaksa diri untuk menjadi bagian dari sebuah geng. Kita dapat meraih kesenangan melalui cara yang positif dan sesuai dengan nilai-nilai yang seharusnya kita anut. Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang damai, ramah dan inklusif bagi semua orang!

Oleh : Syarifah Riza Khadijah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here