Home OPINI The Willow Project : Bukti Wanprestasi Joe Biden

The Willow Project : Bukti Wanprestasi Joe Biden

493
0
SHARE

Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan masyarakat dunia karena kebijakan Willow Project atau Proyek Willow yang baru saja disetujui oleh Presiden AS, Joe Biden, pada Senin (13/03/23) lalu. Kebijakan tersebut menimbulkan banyak kontroversi terutama aksi penolakan dari para aktivis lingkungan yang saat ini gencar mengadakan petisi #StoptheWillowProject di berbagai platform media sosial.

Proyek Willow merupakan proyek pengeboran minyak besar-besaran yang berlokasi di Slope Borough (Lereng Utara) Alaska di National Petroleum Reserve Alaska, kurang dari 30 mil dari Samudra Arktik. Pengeboran ini bernilai 7 miliar dollar AS dengan wacana menghasilkan 180.000 barel minyak per harinya. Meski dibilang menguntungkan dari pandangan segi industri dan ekonomi, Proyek Willow justru memberikan dampak yang sangat merugikan bagi iklim serta keseimbangan ekosistem di Alaska.

Sonny Ahk, salah satu aktivis yang menentang Proyek Willow, memaparkan bahwa proyek ini akan mengunci kembali ekstraksi minyak dan gas Arktik selama 30 tahun ke depan. Akibatnya, hal ini dapat mengkatalisis ekspansi minyak di masa depan Arktik. Proyek ini pun diperkirakan dapat menghasilkan lebih dari 239 juta metrik ton gas selama 30 tahun pengerjaannya atau setara dengan polusi 2 juta mobil yang beroperasi di AS. Polusi yang kian bertambah tentunya akan semakin memperparah pemanasan global (global warming).

Perlu kita ketahui, di bawah tanah Alaska terdapat suatu lapisan bernama ibun abadi atau permafrost. Dilansir dari laman National Geographic, lapisan ibun abadi merupakan lapisan tanah beku yang sudah ada sejak ribuan tahun di bumi. Di dalam lapisan ini, tersimpan berbagai macam virus dan/atau bakteri yang berasal dari zaman purba. Menghangatnya suhu bumi akibat pemanasan global membuat lapisan permafrost yang seharusnya tetap beku menjadi cair, sehingga hal ini dikhawatirkan dapat mengaktifkan dan menyebarkan kembali virus-virus purba yang sudah lama terpendam dan menyebabkan pandemi.

Willow Project dirintis pertama kali oleh Conoco Phillips, sebuah perusahaan minyak yang berbasis di Houston, AS. Lebih dahulu di tahun 2021, proyek ini sudah diajukan pada saat pemerintahan Presiden Donald Trump dan telah mendapat persetujuan. Namun hal tersebut ditentang oleh Sharon Gleason, Hakim Federal Distrik Alaska, karena analisis dampak lingkungan (AMDAL) atau environmental impact assessment dari Proyek Willow yang dinilai tidak memperhatikan keberlangsungan lingkungan secara berkepanjangan. Sayangnya, proyek ini tetap dilanjutkan dan kembali mendapat persetujuan di pemerintahan Joe Biden. Persetujuan Presiden ke-46 AS ini berbuntut pro kontra di masyarakat. Sebab di satu sisi, aktivis lingkungan menilai bahwa proyek ini menjadi akar permasalahan lingkungan berskala besar, namun di sisi lain, para anggota parlemen menilai bahwa proyek ini dapat memberikan ribuan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan menghasilkan pendapatan bernilai miliaran dolar di kas negara.

Proyek Willow merupakan satu dari banyak eksploitasi lingkungan untuk kepentingan ekonomi dan politik semata. Proyek ini sejatinya merupakan contoh nyata dari pembangunan ekonomi yang mengesampingkan aspek berkelanjutan. Seperti yang kita ketahui, adalah hal yang tidak mungkin untuk membenahi Alaska dengan tempo yang singkat setelah adanya pengeboran berskala besar seperti ini. 

Ditambah lagi, Emisi dari Willow Project ini akan melampaui emisi yang dihindari melalui pencapaian tujuan energi terbarukan pemerintahan Biden di lahan dan perairan publik pada tahun 2030. Suatu hal yang kontradiktif dengan deklarasi AS untuk beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Hal ini hanya akan mempercepat dan memperburuk krisis iklim di Kutub Utara.

Diberikannya lampu hijau oleh Joe Biden pada Proyek Willow juga merupakan wanprestasi dari janjinya sendiri di awal kampanye untuk memerangi perubahan iklim dan mengakhiri pengeboran di lahan publik. Pada kampanye pemilu 2020 lalu, Biden mengikrarkan bahwa dirinya akan menjadikan AS sebagai poros utama dalam memimpin perubahan iklim dan akan mengatasi pencemaran iklim di dunia. 

Biden, Mike Dunleavy (Gubernur Republik), Nagrug Hagcarek (presiden grup Voice of the Arctic Iñupiat), dan beberapa anggota parlemen dari negara bagian lain berlindung di balik alasan pemberian lapangan pekerjaan baru bagi para penduduk dan pemulihan finansial saat memberikan dukungannya pada Proyek Willow. Mereka juga berjanji akan berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur dan memberikan jasa layanan publik di daerah pengeboran. Sebuah wanprestasi yang ditutup kembali dengan janji yang baru, cocok dengan peribahasa ‘gali lubang tutup lubang’.

Willow Project merupakan mimpi buruk baik bagi satwa, lingkungan, maupun manusia. Kehidupan makhluk hidup 30 tahun ke depan harus dipertaruhkan demi memprioritaskan keuntungan industri minyak dan pendapatan para pemilik modal. Pemerintah kini seakan seakan menutup mata dan tidak berpikir panjang tentang dampak-dampak ekosistem ke depan.

Saat ini, koalisi kelompok lingkungan dan Pribumi telah melayangkan gugatan yang diajukan untuk Alaska mengenai Willow Project. Mereka meminta Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk Distrik Alaska membatalkan persetujuan proyek itu karena dinilai pemerintah federal gagal mempertimbangkan resiko iklim, membahayakan satwa liar beruang kutub dan perburuan subsisten. Selain melayangkan gugatan, para aktivis online juga membuat petisi di change(dot)org untuk menandatangani penolakan Willow Project dan membagikannya ke berbagai platform media sosial, seperti Twitter dan Tiktok.

Dari banyaknya aksi penolakan dari seluruh elemen masyarakat, baik dari media sosial maupun dari layangan gugatan, serta penjelasan tentang kerusakan ekosistem oleh para ahli, sudah menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah AS untuk menghentikan proyek perusak lingkungan ini. Sebagai pemerintah, sudah seharusnya pemerintah mendengarkan suara masyarakat, bukan hanya mendengarkan suara para pemilik modal saja. Pemanasan global dan ancaman lingkungan lainnya tampaknya bukan isu besar lagi ketika sudah berhadapan dengan laba dan devisa negara.   

Lebih lanjut, pemerintah harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari proyek ini sebelum memberikan persetujuan terhadapnya, apakah proyek ini aman untuk seluruh elemen masyarakat? Apakah proyek ini memberikan kesejahteraan bagi seluruh elemen masyarakat? Apa dampak yang akan ditimbulkan oleh proyek ini bagi negara sendiri dan negara lainnya? Apakah keuntungan yang didapat lebih besar daripada kerugiannya? Dan apakah pemerintah dapat memulihkan kerugian? Hal-hal seperti itu lah yang harus dipikirkan oleh pemerintah sebelum memberlakukan kebijakannya.

Oleh : Nasywa Praramadhany.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here