Home Uncategorized Makna Sebuah Mimpi

Makna Sebuah Mimpi

685
0
SHARE

Oleh: Aprillia Santoso

Sinar mentari pagi menyapa Kota Paris. Dengan hati yang penuh keceriaan Venus mengayuh sepeda kesayangannya menyusuri kota yang terkenal dengan Menara Eiffel-nya itu. Venus begitu menikmati hari ini karena jarang sekali ia mendapatkan hari libur. “Bonjour madame”,  sapa Venus pada seorang ibu pemilik kedai kopi di ujung jalan apartemen yang ia sewa. “Bonjour”, balas ibu itu seraya menyunggingkan senyumnya. Yap, Venus memang sudah lima tahun belakangan ini tinggal di kota Paris karena mimpinya menjadi seorang desainer. Berkat kegigihannya, dalam tiga tahun ia berhasil menjadi manajer di rumah mode ternama di kota itu.

            Setelah dua jam bersepeda tanpa tujuan, Venus memutuskan untuk beristirahat di sebuah bangku. Sejenak ia memejamkan matanya berharap mampu menghapus letih yang ia rasakan. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sesosok pria yang tengah asik bermain ayunan dengan seorang anak perempuan. Dari sorot mata pria itu dapat terlihat bahwa ia begitu menyayangi anak perempuan itu. Perlahan ujung-ujung matanya berair, ia teringat akan kenangan bersama ayahnya di Surabaya. Apakah ayahnya sudah makan pagi ini? Dan sejuta pertanyaan lain yang terbersit dalam benaknya.

Sudah setahun terakhir Venus tidak pernah berkomunikasi dengan ayahnya karena begitu sibuk dengan pekerjaannya. Setiap satu bulan sekali rumah mode tempat ia bekerja selalu mengadakan event fashion show bahkan menggandeng model-model kenaaman dunia. Hal itu mengubah Venus menjadi seorang yang gila bekerja. Venus tidak terlalu ambil pusing karena ia berpikir bahwa adiknya dapat menjaga ayahnya. Sedangkan, ibunya sudah lama meninggal sejak ia masih di sekolah menengah.

Mata Venus menyiratkan kerinduan entah mengapa hatinya terasa hampa. Ia bergegas mengambil handphone dan berniat menghubungi ayahnya.  Namun, sebelum sempat ia menekan nomor telepon ada panggilan masuk dari Fasya, adiknya. Pas sekali batinnya. “Hai Fasya, kebetulan sekali kamu menghubungi kakak, baru saja kakak berniat untuk menghubungi kamu”, ucap Venus. “Wah kebetulan sekali kak, aku ingin menanyakan mengenai uang bulanan bulan ini belum ditransfer ya kak?” Tanya Fasya tanpa basa-basi. Venus mengelus dada mendengar pertanyaan Fasya, belum juga menanyakan kabar tetapi adiknya sudah menanyakan mengenai uang bulanan. “Maaf ya Fasya kakak lupa nanti kakak transfer ya”, jawab Venus. “Oke kalau begitu, sudah dulu ya kak aku mau lanjut kerja”. “Eh tunggu sebentar, gimana kabar ayah? Baik-baik aja kan?” Tanya Venus. Dengan sedikit terbata Fasya menjawab, “Ayah ba..baik kok, udah dulu ya kak aku udah dicariin”. Tanpa menunggu jawaban kakaknya, Fasya segera mematikan panggilan telepon itu. Sudah kelewatan adiknya itu batin Venus. Perasaan Venus menjadi tidak karuan, ia yakin ada yang disembunyikan oleh adiknya. Namun, ia segera menghapuskan keraguan itu.

Malam harinya, Venus bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia rindu menghabiskan waktu dengan ayahnya. Teringat saat ia berkuliah, ayahnya setia menunggu di gerbang kampus bahkan sebelum jam kuliah berakhir. Lalu mereka makan es dawet di sebuah warung kecil di seberang kampus. Ah… benar-benar masa yang indah untuk dikenang. Malam itu juga, Venus menghubungi rumah mode tempatnya bekerja untuk mengajukan cuti. Ia memutuskan akan pulang ke Indonesia.

Tiga hari kemudian Venus sampai di Indonesia. Venus menarik kopernya keluar dari Bandara Juanda dengan senyum yang merekah. Venus bertanya-tanya apakah menginjakkan kaki di Surabaya selalu sebahagia ini. Dalam perjalanan pulang ia mengamati kota yang terkenal dengan sebutan kota Pahlawan itu. Ternyata, banyak perubahan yang terjadi selama lima tahun. Pertokoan kecil disepanjang jalan sudah berganti dengan gedung-gedung tinggi. Ia merasa sedih karena tempat yang sering ia datangi dulu sekarang hanya tinggal kenangan.

Akhirnya, setelah setengah jam perjalanan, ia sampai di rumah. Setelah tiga kali membunyikan bel keluarlah seorang wanita paruh baya. Anehnya, Venus sama sekali tidak mengenali wanita itu.“Halo, cari siapa ya mbak? Tanya wanita itu. Meskipun merasa kebingungan, Venus langsung menetralkan ekspresinya “Mohon maaf Bu, ini bukannya rumahnya Pak Deni ya?” Jawab Venus. Deni adalah nama dari ayah Venus. “Saya sudah membeli rumah ini dari tahun lalu mbak”, jelas wanita itu. Hati Venus mencelos, ia bahkan tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya. “Kalau boleh tahu pemilik rumah yang dulu sekarang tinggal dimana ya Bu?”. “Aduh maaf mbak, kalau itu saya kurang tau”, balas wanita itu. “Baik kalau begitu, terima kasih ya Bu”.

Perasaan Venus terasa campur aduk, marah, kesal, sedih, kecewa. Saat itu juga, yang terpikirkan adalah menghubungi adiknya untuk mendengarkan penjelasan dari situasi yang ia hadapi. Setelah dua kali nada sambung terdengar jawaban dari seberang telepon. “Halo ada apa kak? Uang bulanannya udah masuk kok”, tutur Fasya. “Kamu ini ya, setiap telepon selalu saja yang dibahas uang”. Nada marah terdengar jelas dari ucapan Venus. “Maksudku nggak gitu kak”, balas Fasya dengan suara gugup. “Kenapa rumah kita dijual?”. “Kak ak..aku bisa jelasin, aku terlilit utang, bisnisku hancur, satu-satunya yang bisa aku lakuin yaitu dengan jual rumah, bahkan itu pun belum cukup, aku harus pindah ke kota lain demi menghindari penagih utang kak”, Fasya bercerita dengan suara bergetar menahan tangis.

Venus kaget sekali mendengar penjelasan Fasya. “Lalu ayah dimana, ayah sama kamu kan?”. Suara hening terdengar cukup lama. “Kak aku minta maaf ya, ayah nggak sama aku”, ucap Fasya. Jantung Venus terasa berhenti detik itu, pikiran yang tidak-tidak mulai menghantui dirinya. Ia khawatir terjadi sesuatu pada ayah tercintanya. “Maksud kamu apa Sya?”, Venus bertanya dengan nada ketus. “Ayah ada disuatu tempat yang aman kak, ini nggak sepertinya yang kakak pikirkan”. Venus sedikit merasa lega akan hal itu. “Kamu sadar nggak sih apa yang kamu lakukan?”, cerca Venus.

 “Kak maaf aku salah, setahun belakangan ayah udah nggak bisa jalan bahkan terkena demensia, uang yang kakak kirim tiap bulan habis untuk bayar hutang, sedangkan aku harus kerja”, jawab Fasya. Hati Venus terasa sakit sekali mendengarnya. “Keterlaluan kamu Sya, nggak seharusnya kamu lakuin hal ini, ayah itu udah ngebesarin kita!”. “Aku tau aku salah, saat itu aku udah nggak bisa mikir apapun, tetapi kakak juga harus lihat diri kakak sendiri, kakak selalu sibuk dengan pekerjaan kakak, ketika aku telepon kakak selalu bilang nanti, terus apa yang harus aku lakukan”. Nada bicara Fasya mulai meninggi, luapan keluh kesah yang ia simpan akhirnya terucap dari bibirnya. Venus terpaku mendengar hal itu. Ia merasa tertampar karena ia sadar bahwa apa yang diucapkan Fasya ada benarnya. Bahkan, tidak jarang ia tidak mengangkat telepon mereka.

Kembali terdengar hening yang cukup lama, kedua insan ini berusaha menata hati mereka. “Yaudah nggak akan ada habisnya kalau kita saling menyalahkan seperti ini, sekarang ayah dimana?” Venus mulai mampu meredakan emosinya. “Aku kirim alamatnya via chat ya kak, maaf nggak bisa lama-lama aku harus kerja”, jawab Fasya. Kemudian sambungan telepon terputus. Setelah menerima sebuah alamat, Venus bergegas memanggil taksi dan menuju alamat tersebut.

Setelah menempuh satu jam perjalanan dengan perasaan harap-harap cemas, taksi yang ia tumpangi akhirnya memasuki pelataran sebuah rumah tua. Di samping rumah itu terdapat sebuah papan bertuliskan ‘Panti Wreda’. Mata Venus berkaca-kaca membaca tulisan itu. Perasaan bersalah mulai menghantui dirinya. Setelah menanyakan mengenai ayahnya kepada petugas panti, Venus diantarkan ke sebuah ruangan sempit dengan dinding yang retak di sana-sini. Terlihat  sosok lelaki kurus dengan rambut yang mulai memutih sedang duduk di kursi roda dan menatap satu-satunya jendela yang ada di ruangan itu.

Air mata yang sedari tadi tertahan, sudah tidak bisa lagi ia bendung. Suara isak tangis memenuhi ruangan sempit itu. Ia merasa hancur melihat kondisi ayahnya. Venus bergegas memeluk ayahnya, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan sesuatu. Ayah Venus membeku untuk sesaat, ia terkejut dengan pelukan yang datang tiba-tiba. Kemudian, ia memandangi putrinya tersebut, tatapan matanya penuh kasih sayang, bahkan senyumnya merekah, senyum  yang sudah lama tidak terlukis dari bibirnya. Keheningan menyelimuti ruangan itu hanya terdengar suara tangis Venus yang menggema diantara kedua insan yang sedang melepas rindu.

“Kakak sudah pulang kuliah? Kakak lapar? Mau ayah buatkan nasi goreng?” Tanya ayahnya memecah keheningan. Venus semakin tak kuasa menahan sesak yang ia rasakan. Dengan tersedu-sedu Venus berkata, “Ayah, kakak minta maaf atas semua ini, ayah nggak seharusnya mengalami ini”. Ayah Venus hanya terdiam selama beberapa saat seperti sedang memikirkan sesuatu. “Kakak nggak salah apa-apa kok, ada masalah ya di kampus? Ayo cerita sama ayah”. Venus berusaha menahan tangisnya, ia mulai menatap sosok yang paling ia rindukan selama lima tahun belakangan. Venus menggelengkan kepalanya kemudian berkata, “Ikut kakak pulang ya ayah, kakak janji nggak akan pernah ninggalin ayah”. Ayahnya hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala.

Perlahan langit cerah mulai meredup, lembayung senja mengantar kepergiannya. Langit mulai kehilangan kilaunya berganti dengan pekatnya sang malam. Seakan ingin segera mengakhiri hari yang terasa begitu panjang dan melelahkan ini. Dibawah indahnya rembulan, Venus mendorong kursi roda ayahnya keluar dari panti. “Indah sekali ya ayah bulan hari ini”, ucap Venus. “Iya, indah sekali karya ciptaan-Nya”. Venus selalu bermimpi menjadi desainer sukses supaya dapat membahagiakan ayahnya. Namun, ia lupa hal yang terpenting dari itu semua adalah ayahnya sendiri. Tujuan mimpi itu bukan lagi untuk ayahnya tetapi hanya memenuhi keegoisan dirinya semata. Manusia memang diberi kehendak bebas untuk memilih. Venus memilih ayahnya, tetapi bukan berarti ia meninggalkan mimpinya. Banyak jalan untuk menggapai mimpinya, tetapi diatas itu semua berbakti kepada orang tua adalah hal yang utama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here