Home Uncategorized Masa Depan Penegakan Hukum Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia

Masa Depan Penegakan Hukum Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia

170
0
SHARE

Oleh:

 Atanasya Melinda Making (Manifestor 2019)

Anindya Yustika (Manifestor 2021)

Menurut data Komnas Perempuan, selama tiga tahun terakhir yaitu tahun 2019-2021 terdapat 13.227 kasus kekerasan seksual yang terekam di Indonesia.[1] Namun diantara kasus yang terekam ini, masih ada angka-angka lain yang belum terekam. Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID tahun 2020, dari seluruh responden yang pernah mengalami kekerasan seksual, sebanyak 57,3% atau lebih dari setengahnya memutuskan untuk tidak melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami tersebut.[2]

Sebelum Undang-undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berlaku, penegakan hukum terhadap kasus tindak kekerasan seksual diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam KUHP, ada beberapa pasal yang mengatur kekerasan seksual, pasal-pasal tersebut mengatur tentang merusak kesusilaan dan kesopanan (Pasal 281, 282, 283, 283 bis), pemerkosaan (Pasal 285, 286, 287, 288), pencabulan (Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295), memperdagangkan orang (Pasal 296, 297, 506), serta pemaksaan aborsi (Pasal 299).[1]

Sementara itu, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT mengatur tentang kekerasan seksual dalam konteks pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seksual terhadap istri atau orang yang tinggal serumah. Kekerasan seksual terhadap anak juga diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.[1] Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 76D dan 76E tentang pemerkosaan dan pencabulan. Hal ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan dari pembentukan dan pengesahan UU TPKS karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan, akses keadilan dan pemulihan, belum memenuhi kebutuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual, serta belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara yang berlaku.

UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS telah disahkan pada 12 April 2022. UU TPKS terdiri dari 12 Bab yang memuat 93 pasal dari mulai pencegahan, pengaturan tindak pidana, pemidanaan termasuk rehabilitasi pelaku, hukum acara, pemulihan, dan pemantauan. Undang-undang yang memerlukan waktu hingga 10 tahun untuk disahkan ini, pertama kali diajukan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012 dan telah berulang kali keluar masuk dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR. UU TPKS dapat dikatakan sebagai lex specialis dari KUHP karena memuat pengaturan-pengaturan tindak pidana kekerasan seksual yang belum dicantumkan di dalamnya yang hanya mencakup perkosaan dan pencabulan.[1]

Keadilan Restoratif dan UU TPKS

Keadilan restoratif merupakan suatu  sistem  hukum yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah  pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.[1] Perspektif korban yang digunakan dalam menyusun UU TPKS terang terlihat dalam penerapan upaya keadilan restoratifnya yang lebih  mengutamakan  pemenuhan  hak-hak  korban  kekerasan seksual serta haknya untuk dapat pulih kembali dari trauma dan keadaan sosialnya sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU TPKS. Selanjutnya upaya penyelesaian perkara menggunakan prinsip keadilan restoratif yang sering disebut sebagai celah bagi pembungkaman kasus dan dapat menjadi boomerang terhadap keadilan korban juga tidak diperbolehkan melalui Pasal 23 UU TPKS yang menegaskan bahwa upaya penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan di luar pengadilan kecuali terhadap pelaku yang notabene kategori anak.

Dua Sisi Pengesahan UU TPKS

Diantara banyaknya apresiasi yang diberikan atas pengesahan UU TPKS, salah satunya disebut sebagai bentuk perlindungan bagi korban kekerasan seksual, baik perempuan, anak, orang dengan disabilitas, dan bagi setiap orang; dengan secara tegas dengan dicantumkannya  Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 sebagai konsiderans dari UU TPKS, hingga pengakuan atas hak-hak korban kekerasan seksual dan kewajiban negara atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual.[1] UU TPKS masih jauh dari kata sempurna dan ideal dalam perannya sebagai payung hukum penanganan kekerasan seksual. Banyak tindak pidana kekerasan seksual yang belum diatur secara komperhensif dalam undang-undang ini, termasuk tindak pidana perkosaan yang tidak diatur secara eksplisit dalam UU TPKS karena dianggap sudah diatur dalam KUHP/RKUHP. Delik perkosaan dalam UU TPKS diatur melalui Pasal 4 ayat (2) yang di dalamnya hanya menegaskan perkosaan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Sementara itu Pasal 285 KUHP yang hanya secara singkat mendefinisikan tindak pidana perkosaan sendiri mensyaratkan adanya unsur paksaan dengan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang terpenuhi agar suatu tindak pidana digolongkan dalam perkosaaan dan masih ada bias gender dengan diatur hanya laki-laki saja yang bisa menjadi pelaku dan perempuan korbannya.

Di sisi lain, kekerasan seksual berbasis gender online (KBGO) masih belum dibahas secara komprehensif di dalam UU TPKS, padahal kasus KBGO terus meningkat dalam lima tahun terakhir ini. Menurut catatan dari Komnas Perempuan, terdapat 16 pengaduan kasus KBGO pada tahun 2017 yang meningkat menjadi 97 pengaduan pada tahun 2018, 281 pengaduan pada tahun 2019, serta 659 pengaduan pada Januari hingga Oktober 2020.[1] Namun kasus-kasus tersebut tidak semua ditangani karena tidak adanya payung hukum yang kuat. UU TPKS hanya memuat tiga makna mengenai KBGO, yaitu perekaman atau pengambilan gambar tanpa persetujuan, mentransmisikan informasi elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima, serta penguntitan yang bertujuan seksual. Sedangkan menurut Center for International Governance Innovation (CIGI) dan UN Women terdapat 15 bentuk KBGO, mulai dari trik konfidensi, eksploitasi seks, hingga meniru seseorang secara elektronik dan informasi maya.


Penutup

Pengesahan UU TPKS tidak bisa dipungkiri merupakan sebuah langkah besar bagi terwujudnya penegakan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Oleh karena itu kehadiran aturan turunan UU TPKS, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan lainnya seperti KUHP, UU PKDRT, dan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan hal yang penting untuk segera diwujudkan. Data kasus kekerasan seksual di Indonesia yang kian tahun kian meningkat ini seharusnya menjadi evaluasi bersama, baik oleh pemerintah, para penegak hukum, mahasiswa, hingga seluruh lapisan masyarakat. Terlebih partisipasi masyarakat tentu menjadi faktor krusial dalam penegakan kasus kekerasan seksual. Partisipasi masyarakat tersebut dapat dimulai dari hal-hal sederhana di kehidupan bermasyarakat sehari-hari, seperti lebih menggencarkan kembali edukasi berupa kampanye kepada sesama masyarakat untuk mencegah dan mengenali tindak pidana kekerasan seksual yang mungkin terjadi disekitar, menanamkan empati dan memiliki perspektif korban saat berhadapan langsung dengan kasus kekerasan seksual, serta mengawasi penegakkan hukum yang dilakukan oleh pihak berwenang agar terlaksana dengan adil.

DAFTAR PUSTAKA

Huyogo Simbolon, “UU TPKS Disahkan, Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus Makin Kuat”, https://www.liputan6.com/regional/read/4938571/uu-tpks-disahkan-pencegahan-kekerasan-seksual-di-kampus-makin-kuat, diakses pada 19 Mei 2022.

Intan Khairunisa, 2 Desember 2020, “Mengenal Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)”, https://ketik.unpad.ac.id/posts/981/mengenal-bentuk-bentuk-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo?_escaped_fragment. Diakses pada 19 Mei 2022.

Komnas Perempuan, “Lembar Fakta dan Temuan Kunci Catatan Tahunan 2021”.

Lydia Verina Wongso, “Korban Kekerasan Seksual di Indonesia”, https://pph.atmajaya.ac.id/berita/artikel/uu-tpks-keadilan-sosial-untuk-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia/, diakses pada 18 Mei 2022.

Suci Mahabbati dan Isna Kartikasari, “Analisis Perbandingan Aturan Penghapusan dan Pencegahan Kekerasan Seksual Menurut KUHP dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 19(1), 2019, 81-89. https://ejournal.iainkerinci.ac.id/index.php/islamika/article/view/422.

Lokataru Foundation, 13 April 2022. “Langkah Lanjut Pasca Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, https://lokataru.id/langkah-lanjut-pasca-pengesahan-uu-tindak-pidana-kekerasan-seksual/. Diakses pada 31 Mei 2022

Sumera, Marchelya. “Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan.” Lex et Societatis 1, no. 2 (2013).

Dunn, Suzie, “Technology-Facilitated Gender-Based Violence: An Overview. Suzie Dunn,” Technology-Facilitated Gender-Based Violence: An Overview”, Centre for International Governance Innovation: Supporting a Safer Internet Paper, 7(1). (2020)

Tim Peneliti INFID, 2020,Respons dan Sikap Masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender

Liebmann, Marian. 2007.Restorative Justice: How It Works. United Kingdom: Jessica Kingsley Publishers


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here